Selasa, 28 Juli 2009

Terima Kasih Tuhan

Hari ini untuk kesekian kalinya aku marah, murka, geram dan tak tahan untuk melampiaskan emosi yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun ini... Anak ini sungguh luar biasa mempermainkan hidupku. Seperti roller coaster, hidupku dan emosiku kini naik turun tanpa bisa terkendali lagi.... Tesis yang kubuat dengan susah payah, mengorbankan waktu bertahun-tahun, menghabiskan banyak tenaga dan keringat (juga uang...) kini teronggok seperti sampah... Penuh coretan gambar boneka, rumah, dan entah apa lagi aku sudah tak memperhatikan lagi.
"Sini kamu... Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu rusak buku mama!" Dengan amarah yang meluap-luap seperti gunung berapi yang siap memuntahkan laharnya, aku menghampiri Rara, anak perempuanku itu.
"Aku gambar mama dan aku lagi maen di taman.." Dia sibuk saja berceloteh tanpa merasa bersalah, tanpa takut juga. Anakku ini hiperaktif, aku sampai malu kalau mengajak dia ke tempat umum. Beberapa kali kubawa ke restoran, baik yang cepat saji maupun yang bukan, dia selalu berlarian tak bisa diam. Sering juga menghampiri meja orang lain dan mengajak orang yang bersangkutan ngobrol. Sungguh tidak sopan! Belum lagi dia susah makan dan suka menjerit-jerit. Huh! Di mall atau supermarket apalagi. benar-benar seorang trouble-maker cilik... Kalau cuma merengek minta dibelikan sesuatu masih bisa kuatasi. Tapi yang dia lakukan adalah MERUSAK! Aku pernah mengganti keramik yang dia pecahkan di sebuah toko buku. Aku sering ditegur pramuniaga karena dia membongkar barang-barang yang dijual. Dan membuang ke lantai, misalnya seperti mengeluarkan pasta gigi dari bungkusnya, lalu diacak-acak... arggghhh... Energiku habis mengurus anak ini. Meninggalkannya hanya berdua dengan pembantu rumah tangga, aku tak berani. mengingat banyak kasus penganiayaan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh pembantu. Pengurus rumah tanggaku yang sekarang orangnya cukup sabar, tapi aku masih was-was juga meninggalkan anakku lama-lama dengan si mbak. Soalnya anakku ini berbeda dari anak-anak lainnya. Betapa irinya aku pada adikku Nana yang memiliki anak kalem, lembut dan gampang diatur. Atau pada sahabatku Santy yang memiliki anak laki-laki yang berprestasi di sekolah, selera makannya bagus dan prilakunya yang sopan. Kalau dikatakan faktor genetis, rasanya mustahil Santy yang super duper nakal sewaktu kecil bisa memiliki anak sebaik dan semanis Ryan. Sedangkan aku yang biasa-biasa saja (malah tergolong introvert) kok bisa punya anak yang sifatnya seperti ini. Aku sering mengeluh dan berkonsultasi dengan teman-temanku. Mereka menyarankan untuk bertanya pada ahlinya. Dan hasilnya anakku tergolong asperger autism, sejenis autis yang tidak terdeteksi sejak dini. Baru terlihat sekita umur 6 tahunan, dan ciri-cirinya hampir mirip dengan anak hiperaktif...
Tak terhitung sudah berapa kali aku marah kepada anakku yang baru berumur lima tahun itu. Tak terhitung berapa banyak air mata yang tercurah karena dia tak sengaja sering melukai dirinya sendiri... Memegang setrika yang masih dicolok Mbak Ningsih waktu dia berumur 1,5 tahun. Keserempet sepeda motor karena dia lari dari rumah waktu pintu terbuka. Waktu itu aku sedang mengunci pintu hendak keluar rumah, tiba-tiba Rara langsung melesat ke jalan. Padahal aku sudah memegang tangannya, tapi tetap saja dia bisa melarikan diri. Ternyata inspirasi rumah tanpa pagar (cluster) yang indah kurang tepat bagiku karena nyaris mencelakakan anakku Rara. Belum lagi dia bertengkar dengan anak tetangga lalu kepalanya berdarah karena dilempari batu. Aduuuhhh!!! Jangan harap aku mau membawanya ke rumah teman atau saudara... Ada-ada saja tingkahnya yang membuat aku tidak enak hati. Mulai dari menarik kaki bayi temanku yang baru melahirkan, memecahkan koleksi keramik mini kesayangan sepupuku, yang susah-susah dikumpulkannya sejak remaja, bahkan sampai hunting keluar negeri...
"Kamu nakal banget sih." Bertubi-tubi kulayangkan pukulan ke pantatnya yang tepos. Hilang sudah rasa kasihan karena dia kurus akibat susah makan. Hilang sudah kesabaran yang sudah bertumpuk-tumpuk sepanjang minggu yang berat ini... Mengerjakan thesis sampai titik darah penghabisan. Thesis yang sudah lama terbengkalai karena aku menikah kemudian hamil, melahirkan dan mengurus Rara...
"Ampun mama.. sakit...." Rintihan Rara tak membuatku berhenti. Terisak-isak dan terpuruk di lantai, Rara masih sempat berkata, "Mama jahat sama aku!!!" Kata-kata yang terlontar dari bibirnya yang mungil itu membuatku semakin naik pitam. Kujewer kupingnya dan kuseret Rara ke kamar mandi. Setan sungguh sedang menguasaiku sehingga aku tak sadar apa yang aku lakukan... Aku mengguyur Rara hingga basah kuyup...
"Bu, eling bu... Kasian non Rara. Saya yang salah, Bu. Tadi ndak lihat non Rara ngambil buku ibu dari atas lemari. Dari kemaren kan non kepengen banget ngambil buku itu..." Mbak Ningsih tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar mandi, berlinang air mata.
Masih menyimpan kekesalan, aku keluar dari kamar mandi. Kuambil flashdisk dari dalam laci meja tulisku. Harus buru-buru ke warnet buat ngeprint ulang thesisku yang telah dirusak Rara. Komputer di rumah rusak dan belum sempat diperbaiki. Laptop aku tak punya.
Pulang ke rumah, Rara sudah tidur. Tumben, gumamku dalam hati. Biasanya selalu susah disuruh tidur. Minta dibacakan dongeng dulu, tapi tetap tidak mau tidur. Menjerit-jerit dan melompat-lompat di atas ranjang. Hmmmph!!! Semalam saja dia ikut papanya begadang nonton bola di televisi.
Kuraba keningnya panas. Rara demam rupanya. ya Tuhan, jangan-jangan Rara panas karena kusiram tadi. Dalam tidurnya, Rara mengigau, "Jangan mama. Aku jangan dipukul lagi!" Oh sungguh memelas. Kenapa tadi aku bisa setega itu ya? Kini melihat wajahnya yang innocent seperti bayi (wajah Rara memang tidak banyak berubah semenjak dia bayi), hatiku miris. tanpa sadar air mataku bergulir ke pipi, dan jatuh ke wajah Rara.
"Mama...." Rara terbangun dari mimpi buruknya.
"Ya sayang..." Aku memeluk tubuh mungilnya.
"Rara minta maaf ya, Ma.. Rara janji nggak nakal lagi." Kalimat ini selalu diulangnya setiap kali ia melakukan kesalahan.
"Janji ya, sayang...." aku mencium kepalanya.
"Janji, ma. Mama masih marah sama Rara?" bola mata yang bulat itu menatapku penuh harap.
"Mama nggak marah lagi, karena mama sayang sama Rara," air mataku jatuh lagi seperti dua tetes gerimis membasahi wajah mungil Rara.
"Jangan nangis lagi, mama... Terima kasih Tuhan, mama sudah nggak marah lagi sama Rara..."
Ya Tuhan, ampuni aku orang berdosa ini. Dan terima kasih Tuhan, Engkau telah mengirim malaikat kecil ini untuk mewarnai hidupku. bila dikilas balik, di balik kenakalannya Rara tetaplah seorang anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan-urusanku sehingga sering mengabaikan dia. Rara bidadariku, mutiara hatiku.... Doamu yang tulus sungguh menyentuh hati mama, nak. Mama berjanji akan menjaga dan membimbingmu lebih baik lagi. lebih sabar, lebih care karena Rara matahari yang menyinari hidup mama. Tanpa Rara hidup mama hampa. Tanpa Rara mama kurang motivasi untuk menjadi orang yang lebih bersemangat meraih cita-cita. Terima kasih Tuhan telah menyadarkanku. Rumput tetangga mungkin lebih hijau, tapi aku punya tanaman sendiri yang menunggu jamahan tanganku untukbertumbuh..... Bukankah setiap pribadi diciptakan unik, ada kelebihan dan ada kekurangan. Lalu mengapa aku harus berkeluh kesah menghadapi perangai anakku sendiri? Ayo semangat bagi ibu-ibu yang frustasi dengan tingkah anaknya. Kasih ibu sepanjang jalan.... Mari kita tuntun anak-anak kita mencapai harapan dan impian-impian mereka....

Sumber : Cerpen.net

1 komentar: