Selasa, 28 Juli 2009

Snow White

Pada suatu hari ketika musim salju, seorang ratu sedang menjahit dan tanpa sengaja jarinya terkena jarum dan berdarah.

“Yee, orang aku pakai mesin jahit kok…”

Tiba-tiba mesin jahitnya meledak! Bunyinya BUM! Ruangan sang ratu menjahit hancur berkeping-keping, mesin jahit itu hancur lebur, ruangan-ruangan di sebelahnya rusak parah, saluran listrik, air, gas, telpon, internet, satelit, dan eee… sambungan telpon dengan benang, semuanya nonaktif. Bisa dibayangkan dong gimana keadaan sang ratu… Jari sang ratu terkena jarum dan berdarah.

Sang ratu melihat tetesan darah yang terjatuh di atas salju putih.

“Seandainya saja aku memiliki anak perempuan yang seputih salju, semerah darah, dan sehitam bingkai jendela itu.”

Disana nggak ada bingkai jendela, sungguh.

Beberapa tahun kemudian sang ratu melahirkan anak perempuan yang sesuai keinginannya. Kulitnya hitam, matanya merah, dan rambutnya putih.

Sang ratu nggak ingin anak seperti itu, jadi kelahiran anaknya tadi dibatalkan. Kemudian ia menggambarkan gambar anak yang diinginkannya, berkulit putih kemerahan dan berambut hitam seperti bingkai jendela itu.

Bingkai jendela yang mana sih?

Sang ratu kemudian menyerahkan draft itu ke desainer dan kemudian desainer menyerahkan pada dokter. Sang ratu melahirkan anak sesuai keinginannya, dan anak itu dinamai Snow White. Tidak lama kemudian sang ratu meninggal, kematiannya dimungkinkan karena keracunan, sebab ditemukan zat pewarna putih, hitam, dan merah di rahimnya. Hitamnya seperti bingkai jendela itu.

Bingkai yang di dekat vas itu bukan?

Sang raja yang mengetahui kematian istri yang sangat dicintainya sepenuh hati shock berat, karena itulah ia menikah lagi dengan wanita cantik yang ia pilih dari seluruh penjuru dunia, saking shocknya.

Meskipun cantik, wanita itu agak aneh. Ia sering bicara sendiri dengan cermin, padahal di kerajaan nggak ada cermin. Karena itu ia mendatangi toko cermin.

“Mas, ada cermin yang enak diajak omong nggak?”

Penjual cermin berpikir, dia ini pasti ratu talking-to-mirror-mirror-hanging-on-the-wall-you-do-not-have-to-tell-me-who-is-the-biggest-fool-of-all yang dinikahi raja. Tapi bagaimanapun juga ia sangat menghormati raja.

“Hei, ratu bodoh! Kalau mau cermin ke belakang sana! Apa?! Gitu aja minta diantar?! Manja!”

Ratu sangat terkejut, ia menangis…

“Ternyata ada juga yang tahu kalau aku ini bodoh, aku sangat terharu…”

Ratu baru itu kemudian tiba di ruangan penuh cermin. Ia mengajak salah satu cermin bicara.

“Cermin-cermin di dinding, siapakah gadis yang paling cantik?”

Cermin itu kemudian menjawab.

“Hei, siapa yang kamu maksud? Aku?”

“Yaaa… Iyalaaah…”

“Kalau gitu jangan pakai jamak, dasar ratu bodoh!”

“Wah kamu juga tahu kalau aku bodoh! (senang) Baiklah, cermin di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tergantung…”

“Tergantung?”

“Kamu sudah melakukan hal itu dengan raja belum?”

“Hal itu? Hal yang… Itu? I… tu… Eh, gimana yaaa… Belum…”

“Heh (menyindir), dasar anak-anak.”

“Apa maksudmu?!”

“Kamu nggak tahu ya? Aku dengan istriku sudah melakukan itu puluhan kali.”

“Puluhan kali? Melakukan apa? Gimana?”

“Sudah ah, aku nggak mau menanggapi anak kecil. Bye.”

“…”

Ratu baru itu masih agak bingung. Ia pun memilih cermin lain.

“Cermin, apakah aku paling cantik?”

“Tidak.”

“Apa aku cantik?”

“Tidak.”

“Apa aku cantik?!”

“Tidak.”

“Apa kamu bisa berbicara yang lain selain tidak?!”

“Coba lagi.”

“Apa aku cantik?”

“Tidak.”

“…”

Ratu itu merasa pernah melihat hal yang sama di acara televisi kerajaan.

Ratu itu pun pasrah dan meninggalkan toko. Seketika ia kembali ia dibelikan cermin oleh raja. Ia senang dan mulai mengajak cermin itu bicara.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Thou, O Queen, art the fairiest of all!”

Ratu itu tidak tahu bahasa asing, tapi ia sangat senang karena ia baru kali ini mendengar cermin berbicara. Raja yang mengetahui itupun jadi senang.

“Ternyata ia memang suka dengan cermin talking-only-thou-punctuation-o-queen-punctuation-art-the-fairiest-of-all-exclamation yang kubelikan.”

Tetapi hal itu tidak lama, tujuh tahun setelah itu (itu lama yo…) Snow White telah menjadi gadis kecil yang cantik. Kulitnya yang putih kemerahan menjadi sangat indah, dan rambutnya yang hitam menjadi sangat menyerupai bingkai jendela itu.

Kalau bukan yang di dekat vas berarti yang mana?

Ketika ratu baru (sudah tujuh tahun, sudah lama berarti) itu mencoba berkata pada cermin, ia terkejut.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Thou art fairer than all who are here, Lady Queen. But more beautiful still is Snow-white, as I ween.”

“Apa?! Mengapa bicaramu berganti jadi panjang? Pendek aja aku nggak ngerti!”

Raja yang mengetahui hal itu cukup kecewa juga.

“Kenapa ia tidak suka dengan cermin talking-only-thou-art-fairier-than-all-who-are-here-punctuation-lady-queen-full-stop-but-more-beautiful-still-is-sno-white-punctuation-as-i-ween-full-stop yang baru? Padahal cermin itu lebih mahal?”

Ratu menjadi marah kepada Snow White karena namanya disebut di cermin. Ia pun menyuruh assasin untuk membunuh Snow White dan membawa hatinya sebagai bukti.

“Hei, ass! bunuh Snow White dan bawa kesini hatinya.”

“Kok aku dipanggil ass, sih? Ya udah, nggak papa, nggak ada yang senang kalau aku hidup.”

Assasin itu pergi dengan langkah lemas.

Tidak butuh waktu lama untuk assasin menemukan Snow White, Snow White berada di depan pintu kamar ratu.

“Hai, asin! Mau nemuin mama ya?”

“Mengapa sekarang aku dipanggil asin? Nasibku…”

“Kenapa, asin?”

“Nggak papa, kalau gitu aku nemuin mamamu dulu ya…”

“Oke deh kalau gitu…”

Assasin kembali ke kamar ratu.

“Ratu mencari saya? Atau saya mencari ratu?”

“Lho, udah kembali kamu. Gimana ass? Udah dapet hatinya Snow White?”

“Eh, hati? Hati… Oh! Err… Anu…”

“Wow! Apakah bola yang kamu pegang itu hatinya Snow White? Bagus sekali kerjamu. Nanti bayarannya kukirim ke rekeningmu.”

Assasin itu heran juga, ratu kan tahu kalau ini bola? Tapi nggak papa lah, setidaknya ia nggak jadi membunuh seseorang, ia takut dosa.

Tiba-tiba Snow White masuk kamar ratu.

“Mama, Snow White mau main dulu ya…”

“Baiklah, Snow. Hati-hati ya…”

“Dah mama…”

“Dah Snow…”

Assasin yang melihat itu heran, kayaknya ada sesuatu yang… Sudahlah.

Kok habis?

Lho, katanya sudahlah, ya sudah, sudah habis.

Yaaa… Nggak bisa gitu lah.

Kemudian Snow White yang kesepian di hutan kebingungan.

Kok Snow White bisa di hutan? Sebelumnya dia kan di istana?

Kemudian Snow White yang kesepian di istana kebingungan.

DI istana kok kesepian? Ramai ah.

Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana kebingungan.

Nggak kesepian kok kebingungan?

Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana tidak kebingungan.

Kalau nggak kebingungan ngapain?

Kemudian Snow White kebingungan bagaimana bisa dia yang sebelumnya berada di istana yang tidak sepi jadi tidak membuatnya kebingungan tiba-tiba berada di hutan yang sepi yang membuatnya lebih bingung lagi.

Hari sudah semakin sore, Snow White yang tersesat di hutan kebingungan, dia terus berlari.

“Bagaimana ini, hari semakin sore, garis finisnya masih tidak kelihatan…”

Setelah lama dia melihat kotej yang ukurannya kecil, kotej itu sangat kecil sehingga semua perabotannya ditaruh di luar. Disana ada meja yang diatasnya ada 7 piring kecil dengan warna berbeda-beda, ada merah, merah kemerahan, merah kemerah-merahan, merah berbintik merah, merah bergaris merah, putih berlapis merah, dan hitam yang dicat merah. Di atas piring itu hanya ada tepung, tepung, dan tepung.

“Apaan sih ini? Semua piring kok isinya tepung? Nggak ada sendok lagi, adanya sumpit.”

Bagaimanapun juga, karena ia kelaparan semua tepung itu dimakannya (dengan sumpit). Kemudian ia tertidur karena makan puding rasa obat tidur.

Tiba-tiba ada 7 kurcaci yang kelihatannya habis pulang bekerja. Mereka kaget ketika membuka pintu kotejnya.

Kurcaci pertama bertanya, “Siapa yang duduk di kursiku?”, ia bertanya sambil duduk di kursinya.

Kurcaci kedua, “Siapa yang makan di atas piringku?”, ia bertanya sambil kebingungan mencari piringnya.

Kurcaci ketiga, “Siapa yang memakan rotiku?”, ia bertanya sambil makan roti.

Kurcaci keempat, “Siapa yang memakan sayurku?”, ketika ia melihat kurcaci ketiga makan roti ia meralatnya, “Siapa yang memakan rotiku?”

Kurcaci kelima, “Siapa yang menggunakan garpuku?” … “Kapan aku punya garpu?”

Kurcaci keenam, “Siapa yang memotong dengan pisauku?”, ia bertanya sambil menggesek-gesekkan pisaunya ke tangannya, “Aduh!”

Kurcaci ketujuh, “Siapa yang minum menggunakan mugku?” … “Jangan dijawab! Aku tidak bertanya padamu!”

Kemudian ketujuh kurcaci itu tersadar, di dalam kotejnya kan nggak ada apa-apa…

Kayaknya mereka kurang tidur, ketika mereka menuju tempat tidur, mereka kaget.

“Siapa yang habis tidur di tempat tidurku?” Kurcaci pertama bertanya.

“Bukan, bukan aku!” Kurcaci kedua menyangkal.

“Siapa yang bertanya padamu?” Kurcaci ketiga bertanya.

“Bagaimana kamu bisa tahu kurcaci pertama tidak bertanya pada kurcaci kedua?” Kurcaci keempat bertanya.

“Kenapa sampai sekarang aku nggak punya tempat tidur?” Kurcaci kelima bertanya.

“Tempat tidur? Apa itu tempat tidur?” Kurcaci keenam bertanya.

“Hei, ada yang tidur di tempat tidurku!” Kurcaci ketujuh tidak bertanya.

Keenam kurcaci lain melihat tempat tidur kurcaci ketujuh, disana ia melihat ada seorang gadis yang tertidur pulas.

“Lihatlah, cantiknya gadis itu!” Kurcaci pertama berkata.

“Iya, cantik.” Kurcaci kedua mengiyakan.

“He! Ojok mbebek ae kon! (Hai! Jangan mengangsa saja kau!)” Kurcaci ketiga menghardiknas.

“Apa? Aku cantik?” Kurcaci keempat bertanya pertanyaan retoris.

“Kamu bukan gadis yoo…” Kurcaci kelima mengklarifikasi.

“Diam, diam, nanti gadis itu bangun, kasihan dia.” Kurcaci keenam menasehati teman-temannya.

“Aku harus ngomong apa ya?” Kurcaci ketujuh bingung.

Ketujuh kurcaci tersebut kemudian tertidur pulas di kasur masing-masing.

“Hei, aku harus tidur dimana?” Kurcaci ketujuh akhirnya tahu apa yang harus dikatakan.

Esoknya, Snow White terbangun dan kaget melihat kurcaci.

“Hai, aku kaget lho…”

Ketujuh kurcaci tersebut ikutan terbangun.

“Ah”, “rupanya”, “kamu”, “sudah”, “terbangun”, “dari”, “tidurmu.” (kata-kata tersebut diucapkan secara berurutan oleh kurcaci)

“Kalian pemilik kotej ya? Maafkan aku, aku telah memakan semua tepung kalian… Tapi kalian kok makannya tepung?”

1. “Ah itu… Nggak papa… Nggak tahu juga, setelah kami memberikan makanan ternak, menyiram sayuran, atau mengambil hasil panen, warga memberi kami tepung…”

2. “Iya, habis murah kayaknya…”

3. “Baca guide dari mana sih?

4. “Iya, padahal nggak enak…”

5. “Kadang-kadang mereka juga datang siang-siang…”

6. “Minta relaxation tea leaves lagi.”

7. “Iya, budum.”

… Budum?

7. “Ah iya, kok aku bisa ngomong budum ya?”

“Sebenarnya nggak tahu kenapa aku bisa ada di hutan ini, aku nggak tahu jalan pulang. Boleh aku tinggal disini?”

“Asalkan kamu bisa mengurus rumah”, “masak”, “membersihkan tempat tidur”, “cuci baju”, “menjahit”, “menyulam”, “dan membersihkan rumah, kami bisa menerimamu.”

“Ah, aku bisa, tenang saja.”

“Baiklah kalau begitu.” Kurcaci manapun yang ngomong nggak penting.

Esoknya, ketika kurcaci itu pulang dari membantu pertanian warga…

Bukan warga sih, tepatnya seseorang yang memakai topi biru dan tas ransel kuning…

….

Hei, pekerjaan kurcaci itu bertambang tahu!

Sudahlah, ketika mereka pulang mereka melihat rumah mereka (masih) berantakan.

“Snow White! Mengapa semuanya masih berantakan?”

“Hah? Memang dari tadi gitu kok…”

“Bukannya kamu harus membereskan rumah?”

“Hah? Kenapa harus aku?”

“Kan perjanjiannya gitu, kamu harus bersihin rumah untuk tinggal disini…”

“Hah? Bukannya kalian bilang asalkan aku bisa mengurus rumah dan lain-lain? Aku bisa kok, tapi kenapa juga aku harus mengerjakannya untuk kalian?”

“Eee… Bila kau bilang seperti itu benar juga…”

Kemudian kurcaci-kurcaci itu menyesal tidak bisa meralat apa yang telah dituliskan pada cerita ini karena mereka nggak memiliki hak akses administrator.

Dari hutan kita beralih ke istana raja. Ratu senang karena kali ini cermin yang dimilikinya berbahasa Indonesia.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Terima kasih cermin, kalau yang paling ganteng?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Kok… Kalau yang paling jelek?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“… Paling idiot?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa maksudnya semua ini?! Ini semua pasti gara-gara Snow White masih hidup dan bersembunyi di hutan! Aku akan membunuhnya sekarang juga!”

Kemarahan ratu sangat memuncak, ia pergi ke rumah penyihir dan mencari cara untuk membunuh Snow White.

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Ratu mendapatkan cara untuk membunuh Snow White dari penyihir yang ia temui di perempatan dekat pasar. Ia menyamar sebagai pedagang keliling dan menjual kalung ke Snow White.

“Wahai gadis yang cantik, maukah kau membeli kalung ini?”

“Kalung yang cantik sekali ya mama, eh, pedagang keliling. Aku beli deh.”

“Baiklah, akan kukenakan kalung ini ke lehermu.”

Ratu memakaikan kalung itu ke Snow White. Karena ingin membunuhnya, Ratu mencekik leher Snow White dengan itu. Snow White pingsan dan Ratu kabur kembali ke istana.

Snow White terbangun, “Dasar penjual aneh, masa kalung diikatkan ke tangan sih? Ngikatnya keras lagi, untung nggak di leher, bisa bahaya tuh.”

Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci dengan darah mengucur deras dari nadinya.

Ratu kemudian bertanya lagi pada cermin.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa?! Snow White masih hidup!? Kurang ajar! Sekarang pasti akan kubunuh dia!”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek dan menjual sisir beracun ke Snow White.

“Wahai gadis yang berambut bagus, mau sisir?”

“Boleh juga mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir.”

Ratu kemudian menyisir rambut Snow White dengan sisir itu.

Sesaat kemudian Snow White pingsan. Ratu kembali ke istana dengan perasaan senang.

Snow White terbangun, “Dasar nenek, kok yang disisir rambut yang lain sih (yang mana?). Aku sampai pingsan karena geli.”

Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci.

Tunggu, pada adegan tadi rambut bagian mana yang disisir?

Di istana Ratu bertanya lagi pada cermin, tapi sebelumnya ia haus.

“Pelayan, ambilin minum dong!”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa?! Masih belum mati!? Argh! Sekarang pasti!”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Pelayan datang tapi ratu keburu pergi.

“Lho, kemana sang ratu?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek, kali ini jualan apel beracun.

“Mau?”

“SMS sesama operator masih gratis? SMS ke operator lain 100 rupiah? Eh, bukan ya…”

“Duh, jangan iklan dong. Apel nih, mau nggak?”

“Mau dong mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel.”

Snow White kemudian memakan apel itu. Tidak lama kemudian dia pingsan.

“Hahaha, yang ini pasti mujarab. Kembali dulu ah.”

Kali ini berbeda, Snow White tidak bangun-bangun.

Para kurcaci yang baru pulang kaget, mereka kira Snow White mati dan meletakkannya di peti kaca.

Lho, nggak dipastikan dulu? Siapa tahu masih hidup?

“Nggak mau ah, dia cuma ngerepotin mas… Kalau masih hidup beneran gimana? Repot kan? Mas sih enak, cuma jadi narator, ngomong doang.”

… Duh, aku sih pinginnya jadi cermin yang cuma bisa ngomong “Tentu saja anda, wahai ratu.” itu…

Sudah lama Snow White tersimpan di lemari es… Eh bukan ya? Peti kaca ding.

Dia tidak terlihat seperti seseorang yang telah meninggal. Dia tetap seputih salju, semerah darah, dan rambutnya sehitam bingkai jendela itu.

Jangan-jangan bingkai di tempat lain…

Suatu hari pangeran kerajaan tetangga tiba di hutan tempat kurcaci-kurcaci itu, dia kebingungan juga kok bisa tiba-tiba ada disana.

Ia melihat peti kaca Snow White dan tertarik untuk membawanya. Ia membaca tulisan emas di peti itu.

“Dijual cepat, 10 ribu bisa nego.”

Pangeran itu membeli peti Snow White, dengan nego dulu tentunya. Sebenarnya para kurcaci merasa berat dengan kepergian Snow White itu.

“Ya jelas berat, kita disuruh mengangkat peti ini sampai kerajaan. Dasar pangeran pelit.”

Tiba-tiba ditengah jalan peti itu terjatuh karena dibuang oleh para kurcaci.

… Itu sih bukan terjatuh namanya.

“Berat tahu! Kamu kan nggak bayar biaya pengantaran. Udah ah, kami mau pesta teh, musim semi nih!”

“Tunggu dulu! Terus bagaimana aku bisa membawanya?”

Peti yang jatuh itu terbuka dan Snow White terjatuh. Dari mulutnya keluar potongan apel beracun itu.

“Aduh sayang nih!”

Snow White memakan kembali apel itu. Kali ini baru racunnya bekerja, tadi sih Snow White bukan pingsan, tapi tidur.

“Lho kok pingsan lagi?”

Pangeran tersebut menggendong Snow White sampai ke kerajaannya. Sampai di kerajaan, Snow White terbangun.

“Terima kasih tumpangannya.”

“Lho? Jadi kamu tadi tidak pingsan ya?”

“Kenapa aku harus pingsan? Kamu pingin aku pingsan ya?”

Kemudian Snow White pingsan. Ratu kerajaan itu tidak sengaja melihatnya.

“Anakku! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Kamu telah menghamilinya ya?!”

“Apa?! Kalau begitu maafkan aku ibu! Aku akan bertanggung jawab!”

Kemudian Snow White dan pangeran itu akan dinikahkan.

Di lain tempat, ratu yang lain sedang berbicara pada cermin.

“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

“Apa!? Snow White menikah dengan pangeran kerajaan lain?! Kurang ajar, masih hidup saja dia!”

Ratu pergi ke kerajaan tetangga dengan amarah yang memuncak.

“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Sesampainya di kerajaan tetangga, ratu (mama Snow White, tapi bukan manajernya kayak yang di suatu acara TV) melihat pernikahan Snow White dengan pangeran kerajaan itu. Ia mendekati Snow White dan akan mengucapkan mantera kutukan.

“Snow White! Ternyata kau ada di sini!”

“Pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel, eh, Mama?!”

“Snow White… Mama selalu mendoakanmu, nak. Semoga kamu berbahagia dengan pangeran ini.”

“Mama… Terima kasih banyak.”

“Ratu, maafkan aku yang telah lancang menikahi Snow White. Aku telah menghamilinya…”

“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku menunggu cucu pertamaku.”

“Mama?! Jadi mama tidak marah?! Mama memang mamaku yang paling baik!”

“Terima kasih bibi!”

Mereka semua bahagia, termasuk semua warga yang menghadiri pernikahan mereka.

Kalau bisa dibuat bahagia, mengapa memilih ending yang harus-ada-yang-mati?

Dan tidak jauh dari tempat pernikahan itu… Akhirnya… Aku melihat bingkai jendela yang berwarna hitam itu.

Sumber : Nafas.com

[+/-] Selengkapnya...

Luna Mau Tidur !

Minggu 11 Juni 2006/ 15:00 wib
“Emang gimana awalnya, loe ceritain deh dari awal” Dino penasaran dengan cerita Luna yang mulai hari ini harus tereliminasi dan dipensiunkan dari sekolahnya.
“Tau gue juga, masak cuma gara-gara tidur doang” sungut Luna.
“Lah….masak cuma gara-gara tidur doang ? yang jelas dong”
“Gini ceritanya………”Luna mulai bercerita.

Skul 9 Juni 2006/ 08:00 wib
Gasi tak terlihat seperti dulu, tak seperti waktu pertama kali menatapnya. Ini untuk fisiknya, rambutnya yang seakrang tertata rapi, giginya yang putih dengan gingsul, matanya yang selalu bercahaya, penuh harapan, dan hidungnya yang pesek, masih memperlihatkan wajahnya yang berkelas dan tampan. Darah dusun ibunya masih sangat terasa, sangat terlihat dari matanya yang dari dulu, masih terlihat sedikit besar.
Sahabatnya banyak yang kaget dengan perubahan dari style-nya Gasi yang sangat mencolok. Dia bukan lagi Gasi yang dulu, ini bukan Gasi yang dulunya dekil, dan urakan. Sekarang Gasi sudah berubah menjelma menjadi seorang cowok yang. Bukan lagi
Setiap berjalan ia coba melenggang berjalan dengan langkah yang berkelas, tak terlalu cepat dan tak juga terlalu pengantin, sorot matanya tajam menatap kedepan, siap membuat semua wanita takluk dengan matanya. Tapi senyum sumringahnya langsung terpancar ketika seorang sahabat lama, menyapanya. Dua tahun di Jepang membuat dia sangat fenomenal.
“Aku enggak nyangka, kamu sudah bisa dandan sekarang” Luna tersenyum, menyinggung penampilan Dino sekarang.
“Aku juga bingung kenapa bisa ya….aku berubah kayak gini, ternyata bener kata kamu dulu, lingkungan akan merubah kamu, thanks Luna”Dino memeluk Luna, salah satu sahabatnya yang paling setia menunggu kembalinya dari jepang.
“Seekor anak musang yang buas, dekil dan kotor, akhirnya melakukan kegiatan manusia, dalam hal membersihkan diri, ternyata bunga sakura juga bisa untuk merubah penampilan………”Suara yang tidak asing untuk Dino, sindirannya yang khas dan selalu berhasil menusuk dengan tajam.
“Sapi….., masih make kata-kata sok sastrawan juga loe……pa kabar Gy…?”Dino menyambut teman satu bangkunya waktu di SMP.
“Heee….he….fine….sih, tapi gue jadi ngerasa udah mulai ngerasa aura enggak enaknya nih, ketika seekor srigala datang dan mulai bisa mengendus pastilah banyak mangsa gue yang lepas gara-gara srigala ini”bahasa penuh makna, mengalir lepas dari bibir Xegy. Sebenernya sih maksud Xegy dia takut aja kalau cewek-cewek yang selama ini milik dia harus pergi karena ada seekor srigala dari jepang merebutnya.
“Makan aja sama loe sendiri….gue enggak level men sama orang indonesia….sueerr”Dino mendongakkan kepalanya keatas berlagak angkuh.
“Anjiing…………..loe….”Xegy berlari mengejar Dino yang sudah ngibrit duluan, Luna sendiri ia Cuma bisa menatap kekonyolan dua sahabatnya dengan senyum simpulnya.
LUNA…………………..BANGUUUUNN……………BANGUUUNN……..
“Ah….ngapain sih….ganggu orang lagi mimpi aja neh…..tanggung neh lagi mimpi enak……”Luna masih belum sadar dengan tingkahnya yang tidur dikelas, dan mengigau, yang membuatnya harus meninggalkan pelajaran pertama, pelajaran fisika.
“HUUU….orang cuma tidur doank enggak boleh….”Luna mencibir gurunya, dan melangkah gontai keluar kelas.
“Kamu bilang APA……..????”teriak Bu siska…guru duper killer.
“Eehhh…ehh…..enggak bu………PIISSS”Luna langsung ngibrit keluar.
“Dasar, anak gak tahu diuntung…..sudah disuruh belajar, malah tidur”gerutu Bu Siska kesal.
“Dagang kali untung………….”Luna nongol dari jendela, meledek gurunya.

LUNAAAA………………………………..
***

Tawa….sekelompok cewek kelas XI memenuhi ruang kantin yang cukup luas. Cewek-cewek kelas XII yang merasa dirinya sudah yang paling hebat melirik sinis kearah bangkunya Luna dan teman-temannya duduk sambil mencibirkan bibirnya yang ingin sekali rasanya dibikin dower.
“Masih kelas XI aja dah belagu sok ngenantangin guru”Sindir Fara sedikit mengeraskan suaranya.
“Masak…. ?”Luna mengindahkan omongan gak berkelas Fara, yang mengaku dirinya Miss Universe sekolah, padahal ngomong inggris aja gak lancara.
“Heiii….lagi lengkap nih……”Xegy langsung duduk dan ikut nimbrung dimeja Luna.
“Iyaa….jadi lebih karena loe duduk disini”Rika menatap ketus Xegy.
“Oopss…okay gue nyingkir”Xegy berdiri dan celingak-celinguk melihat tempat yang kosong.
“Yeee….udah duduk aja disini”Luna membela Xegy.
“Oh ya…..loe kenapa kok bisa tidur dikelas tadi…?”tanya Xegy sambil masih melirik Rika yang menatapnya sinis.
“Apa…loe….mau gue gampar ?”Rika mengangkat tangannya.
“Sorry say….piiisss”
“Udah napa….”Luna menengahi.

Bel masuk berbunyi……
“Nah….sudah bel tuh..masuk gih….”Luna memerintah teman-temanya.
“Loe sendiri ?” tanya Mika, mengerutkan keningnya.
“Gak ah……mau ke perpus aja, daa…duluan gue…., eh.jangan lupa kalau sudah pulang samperin gue di perpus ya…”Luna mengarahkan kedua kakinya kearah perpus yang terletak dua gedung dari kantin.
Sebenernya agak aneh memang meletakan ruang perpustakaan agak jauh dari kelas-kelas murid. Walaupun alasan sekolah cukup masuk akal, itu dilakukan agar suasana tidak terlalu bising.
Luna agak mempercepat langkahnya di koridor kelas XI C, karena Luna tahu disana ada bu siska yang sedang mengajar. So kita cari aman dulu, Luna agak sedikit membungkukkan badannya didepan kelas XI C, Luna membungkuk dan mempercepat langkahnya. Terus….terus….dan terus….lewat juga akhirnya. Luna mengelus dadanya tenang.
LUNAAA……………………” jerit Bu Siska, yang mengetahui tindakan Luna yang cabut dari pelajaran.
“GAAAKK…… MAUUUUUUUUUU………..” Luna langsung lari ngibrit entah kemana, dalam sekejap ia sudah tidak terlihat dikoridor sekolah menuju perpus.
“Kok lari……mau ngasiin buku tugas juga” Bu Siska cuma bisa menatap kosong kekoridor dan buku tugas Luna yang masih ia pegang.
Luna terus berlari menelusuri koridor sekolah dengan kecepatan penuh, melewati ruang kepala sekolah, ruang BP, lapangan basket, gedung olahraga dan akhirnya berakhir di kantin dan langsung memesan teh botol dingin.
“ini nikmatnya sekolah” ucap Luna masih terengah-engah.
Tapi sayang nikmat sekolah yang dia maksud datang lagi, kali ini bukan ibu Siska yang lebih mirip tante-tante kiler yang didepannya. Amiiiiin………….banget memang karena yang didepannya bukan tante itu, tapi………!!! O M G, ini lebih gawat” Luna langsung menaruh botol kenikmatan pelepas dahaganya. Mengangkat kaki kanannya…..dan……..KABUR……………….TIDAK…………………..AMPUN…….Pak DULLOH………..piiiiiiiissssss………………….
Luna langsung kembali berlari kocar-kacir, kembali berolahraga siang. Memutar lapangan basket, memutari kembali parkir siswa, bebelok ke parkir guru, melewati pepustakaan yang ingin ia kunjungi tadi dan sekarang tidak. Dan terus berlari tanpa melihat belakang, trus berlari dengan menutup mata, terus berlari menghindar kematian (Walau itu sebenarnya enggak mungkin) dan terus berlari…..terus…..terus……….terus…..semakin jauh…jauh……lurus kedepan…………
BRAAK……….aaahh………….
“Gila loe ye……..pake mata dong” satu makian yang langsung membuat Luna tersontak. Walaupun matanya tetap terus menatap lantai koridor, mengatur napasnya yang sudah kocar ancur, mengumpulkan kembali tenaganya yang telah hilang bersama derap kakinya yang melaju kencang, dan mengatur kata-katanya untuk dimuntahkan dan memaki kembali bajingan tengik yang telah menghalangi jalannya. Hingga akhirnya Luna harus tertangkap oleh Pak Dulloh guru matematika dengan kumis tebal ala Pak Raden dan tangan kekar ala Ade Rai, dengan mudah menarik kerah baju Luna hingga ia terangkat dari duduknya.
“Mampus…belek aja sekalian Pak….” Cowok ngehe’ itu malah memanas-manasi suasana.
“Leher kamu yang saya belek” Pak Dulloh bukannya mendengar omongan Cowok brengsek itu, eh….malah memaki balik.
“Mang….enak…..” Luna tersenyum sinis.
“Bodo…” cowok sialan itu, langsung berbalik dan melangkah pergi.
“Awa.loe………gue matiin…entar……” maki Luna sadis.
“Kamu yang akan mati duluan” Luna langsung diseret Pak Dulloh keruang BP, dimana itu tempat ia dan komplotannya berkumpul. Komplotan yang semuanya orang berkumis dan berbadan kekar, hee….hee….maklum rata-rata dari mereka kerajingan fitnes.
“Yah……….ini lagi, enggak ada yang punya penyakit yang laen apa sekolah kita ini” ledek Pak Sukro, penjahat kelamin yang sukanya dengan daun muda menyindir Luna.
“hhhmm……belum tahu aja loe siapa gue….loe berlima yang badanya segede gentong gajah ini juga gue lawan fuck….bacot loe semua bau kalau ngatain gue” geram Luna, yang enggak terima dianggap enteng.
Dua jam sudah Luna didalam ruang ngehe’ yang enggak ada sejuk-sejuknya. Kacrutnya didalam dia Cuma disuruh duduk doank tanpa suguhan minum dan makanan yang cukup buat menambal perutnya yang kehabisan tenaga, habis joging melelahkan tadi. Hehee…..hee…joging katanya dasar geblek.
Dalam hitungan tiga, dengan modal nekat dan sok berani, Luna berdiri dari duduknya, mengendap-endap…….dan KABUUUURRR……….
CIIIITTT……”Luna berhenti dari larinya.
“Loh…..kok enggak ada yang ngejar”Luna jadi bingung dan mengendus-endus lantai. “Enggak ada bau bajingan tengik itu”
Luna lalu berjalan kembali keruang pengap tai itu, mengintip, celingak-celinguk.
“Anjriiitt…..sialan banget, pada tidur….kalau tau dari tadi dah…gue cabutnya” Luna berjalan santai, tapi sampai dikelasnya……..
“Ngehe’…….dah pada balik…..?” Luna mengerutu sendiri.
Langkah gontainya menelusuri koridor sekolah yang sudah sepi…sepi sekali, cuma Pak Saha dan Ibu Eta, sepasang suami istri penjaga sekolah yang ia temui. Di parkir guru, Luna melihat gerombolan guru yang enggak manusiawi.
“Pulang sendirian ?” sebuah kalimat yang dalam dan langsung menusuk hati.
“Sialan…..” sungut Luna, langsung mempercepat langkahnya.
Dihalte
Kejadian hari ini sangat melelahkan buat Luna, sebuah kesialan dibalik hobinya yang sering membangkang dan berlari. Semenjak ia menemukan hobinya tidur dikelas dan melawan guru betisnya kini tjadi terasa dua,tiga,empat sampai sepuluh kali lipat lebih gede.
Sampai di Halte, Luna langsung menghempaskan tubuhnya di bangku halte yang keras terbuat dari besi yang mulai berkarat.
“Fhuu….letih, capek, lelah….enggak ada yang jual air lagi” keluh Luna memijit-mijit betis kakinya yang sudah membesar.
“Haus….?” Seseoran menyodorkan sebotol air mineral yang sangat diharapkan Luna.
“Makasih….” Jawab Luna tanpa menoleh sedikitpun ke yang empunya.
“Makanya…jadi cewek yang lembut dikit…jangan suka berbuat yang nyeleneh”
“Loe belum….balik Xeg….”Luna mengalihkan pembicaraan. Ternyata tanpa perlu melihat siapa orangnya dari suaranya aja Luna sudah tahu kalu itu Xegy.
“Dibilangin malah ngalihin pembicaraan, udahlah…gue duluan”Xegy langsung menyetop bus.
“Eh….gila….tunggu”Luna langsung mengejar bus-nya.
Bus yang penuh sesak, dan bau yang menyengat. Wuiiihh…apalagi kalau bukan dari ketek-ketek para penumpang yang pada enggak pake deodorant…(Haaahhhhaaa…mungkin). Tapi rasa sesak dan bau ketek itu enggak akan pernah bisa menghentikan kegilaan Luna dan Xegy akan angkutan yang ini, coz penuh tantangan dan bisa melatih pernapasan karena kita akan menahan napas dari awal naek sampe turun yang penting murah cuy. BUSWAY…??? NO Way…..gak da tantangannya plus mahal, kan kantong anak sekolah terbatas tapi enggak buat mereka yang tinggal di perumahan elite sama apartemen.
“Gila…loe…bisa naek juga” sindir Xegy kena.
“Loe kira Luna Prisma, baru kali ini naik bus” Luna langsung loncat keluar.
“LUNAAA………”teriak Xegy, walau akhirnya Luna enggak apa-apa.
Luna langsung, berlari lagi menuju rumahnya, kayaknya sih lari sudah jadi kegiatan favoritnya setelah kejadian di skeolahnya tadi.
Balik lagi ke Xegy, mahluk satu ini enggak langsung balik kerumahnya, tapi dia malah mampir dulu kerumah temennya, cowok….(Haa….cowok ?). tapi entar dulu jangan mentang-mentang dia mau kerumah cowok bukan berarti dia homo……..xegy mau kerumah temen lamanya.
“Misiiiiiiiii………”teriak Xegy, setelah sampai dan berada tepat didepan pagar, rumah temennya.
“Yaa..ya…bentar”suara sautan dari dalam rumah, terdengar jelas dan cukup cempreng.
“Dino mana Bi ?”
“Ada dikamar langsung masuk aja”
“Ya ialah…emang siapa yang mau diem disini, panas tahu” Xegy malah ngeledek Bi Sarah dan langsung ngibrit masuk, takut Bi Sarah nyerang balik ( Dalam kasus ini, kenapa disetiap sebuah tulisan sinetron, novel dan film selalu saja nama pembantu suatu keluarga itu jelek dan agak kampungan, so’ kita rubah neehh, coz enggak semua pembantu namanya jelek).
“Huu…dasar anak muda jaman sekarang endak tahu sopan santun, wes geblek kabeh” gerutu Bi Sarah sendirian.
“Makanya saya sekolah biar enggak geblek……”Xegy yang mendengar gerutuan Bi Sarah langsung menyahut.
Dino ? dalam mimpi Luna kita pernah membahasnya. Yup …Dino adalah sahabat dekat dari Xegy dan Luna dari SMP, Dino memang benar-benar berubah dalam hal penampilannya sekarang, bodo amat style kayaknya sudah dia buang jauh-jauh. Penampilannya sekarang jepang banget, paduan baju dengan warna-warna terang dan matanya yang sedikit sipit hampir membuatnya sangat mirip dengan orang jepang, itupun akan berhasil kalau saja kulitnya sedikit lebih putih, tidak kuning langsat seperti sekarang.
“Luna mana ?”tanya Dino setelah Xegy berada didalam kamarnya.
“Tahu dia tadi langsung balik, padahal udah gue panggil udah gue tungguin, eh malah tadi langsung loncat aja dari bus”jelas Xegy rinci banget.
“Wuiihh…tambah gila aja tuh anak, masi tukang tidur gak tuh bocah ?” Dino, sepertinya kangen dengan kebodohon dan kegilaan Luna.
“Halah…gak usah komentarin dia, sekarang yang penting mana oleh-oleh gue ?”Xegy langsung menuju sebuah bungkusan besar yang ada didekat lemari Dino. Tangan geratakan Xegy langsung membongkar isi bungkusan itu, tapi tak ada apa-apa yang ia temukan Cuma puluhan pakaian kotor, mungkin bekas Dino waktu dijepang, hueekks…baunya, Xegy langsung memasukkan lagi baju super bau itu.
“Makanya tangan tuh jangan geratakan” Dino ketawa sendiri melihat Xegy menahan bau dari baju yang sudah ia pendam selama berminggu-minggu.
“Tai…lu”
***
Skul 10 Juni 2006/ 08:30

Mendung menyelimut, langit mulai hitam pekat tapi hujan tetap saja belum kunjung datang. Melati di taman sekolah sudah tetunduk layu menanti hujan. Luna….., dimana Luna sekarang ? bingung, semua orang dikelasnya sibuk mencari satu buah sontoloyo yang hilang ini, tasnya sih ada…..tapi entah orangnya kemana, dari awal pelajaran tadi sampe sekarang sudah istirahat kedua penjahat kelas kakap itu belum juga ditemukan batang hidungnya.
Karena ini sebuah rahasia, tak ada satupun dari siswa kelas Luna yang melapor ke guru. Karena hampir semua teman Luna tahu, kalau kasus ini dilaporkan habislah riwayat Luna, semua kisah dan kasih kejahatan dan kebadungannya akan berakhir.
“Wooii…emang enggak ada yang ngeliat Luna kemana apa ?”Xegy yang bukan penghuni kelas Luna, langsung masuk dan uring-uringan dikelas orang.
“HUuuuu………….” Hampir seisi kelas menyoraki Xegy.
“Pada kampret lu ye…..gue tanya baek-baek” Xegy langsung ngibrit pergi setelah ia memaki sesaat penghuni kelas, karena ia tahu beberapa detik ia terlambat kabur, bisa hancur mukanya. Dikejahuan Xegy sedikit mendengar maki-makian para setan remaja kelasnya Luna.
“Amin….Amin, untuk gue keburu pergi” Xegy bersyukur dengan tindakan cepatnya.
Tapi kemana Luna sekarang ? gila juga, manusia yang enggak bisa diem kayak dia bisa ngilang, letak gilanya sampe satu sekolah enggak ada yang tahu, biasanya sih tanya sama satu orang anak juga pasti ada yang melihat jejaknya. Tapi, sekarang kemana bocah tengik itu.
“Kalau aja sekolah ini ada anjing pelacak, pasti sudah ditemukan monyet sialan itu” sungut Xegy kesal.
Bel pertanda kalau sekolah telah selesai, telah berbunyi, tapi Luna masih saja belum ada yang menemukannya. Sebagian dari temannya yang sudah putus asa, memutuskan untuk pulang, karena mereka capek dengan tingkah Luna yang gak jelas kayak gini. Tapi sebagian lagi masih ada yang tetap mencari disemua tempat yan paling mungkin untuk dilakukan untuk tidur. Kenapa tempat untuk tidur ? coz, ini dari pengalaman, Luna biasanya kalau ngilang kayak gini pasti dia pergi buat cari tempat untuk tidur, apa lagi kalau bukan untuk itu.
Karena ini sudah sangat gawat, akhirnya Bingo, sang ketua kelas Luna, melaporkan semua ini ke guru dan wali kelas. Pencarian pun semakin gencar, hampir semua penghuni sekolah dan instansi terkait ( apa seehh…GJ ) ikut membantu, enggak ketinggalan Pak Saha dan Bu Eta turut membantu mencari. Kayaknya memang sudah benar-benar gawat.
Suhu udara semakin panas, sudah beberapa botol air mineral telah diminum oleh Cika teman sebangku Luna, yang masih tetap betah mencari jejak Luna. Rasa penasaran dan kesal yang sudah sampai diatas normal, yang membuat Cika tetap melakukan penelusuran jejak hantu cilik itu.
“Loe ngapain sih, lagi dapet ya ?” selidik Xegy, sambil menyipitkan sedikit matanya, ia melihat dari tadi Cika merapatkan kakinya dan terus memegangi pinggangnya.
“Kurang ajar loe, belum awal bulan tahu, gue kan dapetnya tiap awal bulan” Cika menyangkal tuduhan Xegy.
“Oohhh….jadi tiap awal bulan toh dapetnya, terus itu ngapain ?”
“Aku mau pipis……..nih” ucap Cika sok dibikin manja.
“Dasar idiot, ya ketoilet sana, ngapain loe tahan-tahan kena kanker rahim tar loh” ucap Xegy, menakut-nakuti Cika.
“Waaaahhh….gitu ya, yo wes gue ketoilet dulu ya…..”Cika langsung berlari kecil menuju toilet sekolah, enggak kebanyakan toilet sekolah lain, yang bau dan kotor. Justru ditoilet sekolah ini semua terlihat bersih dan nyaman, wangi lavender selalu tercium dari gantungan pewangi ruangan toilet ini, dan ini juga berlaku untuk toilet cowok.
AAARRGGGGGHHHHHHHH……………………..XEGGGGYYY………….
Terdengar teriakan Cika dari dalam toilet, yang membuat semua team ekspedisi pencarian jejak Luna berhamburan menuju toilet.
“Haahhaaa….mampus loe kepeleset pasti” Xegy, tertawa dalam hati. Ia lalu berjalan santai menuju toilet.
Sampai didalam toilet sepertinya perkiraan Xegy benar, banyak kru team ekspedisi pencarian jejak Luna yang ketawa ngakak, tapi, anehnya kok Pak Memet wali kelas Luna malah melotot, sampai semua retina, air matanya mau keluar. Begegas Xegy menerobos kerumunan kru-kru.
“Anjriiiiitttt………” ucap Xegy terperangah kaget. Didalam toilet diatas closet duduk, terlihat Luna sedang tidur dengan pulasnya, parahnya kayaknya ini semua sudah terencana, karena dibelakang kepalanya ada sebuah bantal tidur. Bener-bener edan.
“Cepet…bangunin” Pak Memet, mendorong Xegy kedalam toilet. Sebelumnya Xegy menyuruh semua orang untuk menyingkir dan keluar dari dalam toilet, lalu Xegy meneluarkan Super TOA dari tasnya, menarik napas dalam-dalam dan…….
LUUUUUUUNNNNAAAAAAAAAA………………….
BAAAAANGUUUUUUUUUUNNN………………
Semua urat Xegy keluar, kuping berdengung, dan jantung ikut berdetak kencang.
“WHhoooaaaaa……dah balik sekolah cuy” Luna membuka matanya.
“Anjriit…loe, hati-hati aja loe diluar ada Pak Memet, kayaknya riwayat loe berakhir hari ini” Xegy berlalu keluar toilet, diluar terlihat semua kru Team Ekspedisi Pencarian Jejak Luna dan enggak ketinggalan Pak Memet, meniup-niup kuping mereka. Xegy Cuma tertawa geli melihatnya dan berlalu untuk pulang, sambil mencopot pengedap suara dari kupingnya.
***
“Gitu….tuh ceritanya” Luna menyudahi ceritanya.
“Loe aja yang kebangetan, gila loe enggak ilang-ilang tahu gak” Dino, tertawa geli, dan iapun meninggalkan Luna sendirian dikamarnya, sambil merutuk Dino karena menertawakannya.
“Tapikan sekarnag lagi Piala Dunia jadi wajar dong, gue ngatuk berat” Luna masih mau menang sendiri.
“Yaa….tetep aja loe kebangetan” sahut Dino dari ujung pintu kamar.

selesai


Sumber : GoodReads

[+/-] Selengkapnya...

Sajadah Oh Sajadah..

Sajadah. Barang yang hanya berupa lembaran kain dengan berbagai motif dan bahan itu begitu menyita pikiran Husna. Terutama ketika hendak pergi tarawih. Bagi kebanyakan orang sajadah adalah sebuah kemestian ketika hendak melakukan sholat. Entahlah, rasanya kurang lengkap kalau sholat, apalagi di masjid tanpa menggunakan sajadah. Padahal sebagian masjid telah menyeddiakan karpet yang bagus dan mahal. Tapi tetap saja sajadah seolah menjadi kebutuhan tersendiri. Entah sekedar trend atau apalah.
Husna tidak menyalahkan. Memang sajadah adakalanya sangat membantu Husna ketika sholat maupun saat setrika karena bisa dijadikan alas. Tetapi kali ini Husna memang harus berpikir puluhan kali ketika akan menyertakan sajadah untuk tarawih di masjid dekat tempat kosnya. Kebiasaan barunya ini cukup menjengkelkan teman kosnya. Ke masjid selalu terlambat. Tepatnya seminggu setelah Ramadhan lewat.

“Husnaa.aa! Cepetan, ntar telat lagi, lho.” Teriak Nina dari luar kamar. Tak ada jawaban.
Klek! Pintu kamar terbuka dan wajah bulat Nina menyembul dengan balutan mukena dari balik pintu.
“Lagi ngapain, sih. Cepet! Ntar nggak dapat tempat lagi baru tahu rasa.” Husna menoleh sekilas. Pandangannya kembali tertuju pada sajadah biru yang terlipat rapi di tepi dipan. Membawanya berarti menyertakan beban berat berton-ton ke masjid. Tapi kalaupun ditinggal bukan berarti masalah akan selesai.

“Bawa…enggak…bawa…..enggak…bawa…” Husna menghitung kancing bajunya dengan serius.
“Kamu tuh mau tarawih apa enggak, sih? Ato mau berangkat sendiri?”
“Sebentar, dong.Lagi pusing, nih. Cerewet amat.”
“Pusing kok dipiara. Sampai kapan kamu akan diperbudak oleh sajadah itu?” Potong Nina tandas.
“Enak aja. Masa aku budaknya sajadah.” Tangan Husna langsung menyematkan mukena ke kepalanya.
‘Terus apa namanya? Kalau tiap hari selalu pusing dan jutek gara-gara sajadah. Aku bener-bener nggak ngerti dengan sikapmu yang aneh itu. Padahal kalau di rumah kamu nggak pernah mempermasalahkan sajadah. Giliran kemasjid bikin rebut serumah.”

Husna ragu-ragu menyentuh sajadahnya. Saat jemarinya hampir menyentuh bahan beludru itu, buru-buru ia menariknya. Nina berdecak sebal.
“Ya Allah, Husna. Kalau mau bawa ya bawa. Kalau enggak, ya enggak. Pusing amat!” Husna hanya membisu. “Udahlah aku berangkat duluan aja. Daripada menyaksikan orang yang sajadahphobinya kumat.”
“Kalau kamu berangkat duluan, aku akan tarawih sendiri aja di rumah.”

“Eh, masa gara-gara sajadah sampai nggak ke masjid. Ingat setelah tarawih nanti ada pertemuan Remas untuk membahas rencana rihlah adek-adek TPA.” Nina memperhatikan tetangga kamarnya dengan seksama. Wajah Husna benar-benar tampak bingung. Dengan sabar yang dipaksakan, akhirnya Nina menjajarinya di dipan. Ia tak lagi peduli dengan jarum jam yang terus bergerak kearah angka tujuh.

“Sebenarnya ada sih?” Husna menatap mata Nina sesaat. Kepalanya lurus lagi.
“Aku, malu.”
“Malu? Malu dengan siapa? Dan kenapa? Tumben kamu yang biasanya cuek bisa malu. Lebih sering kamu itu bersikap yang malu-maluin.”
“Aku serius, Nin!”

“Oke, oke. Tapi kenapa?”
“Yang pasti aku malu gara-gara sajadah itu.”
“Kamu nggak pede karena modelnya?” Husna menggeleng cepat.
“Modelnya kan sama kaya punyamu.”
“Atau baunya nggak enak karena lama nggak dicuci?” Nina bertanya tanpa ekspresi.
“Nih, cium. Wangi, kan?”

“Trus?” Husna mematung. Ia menimbang-nimbang. Ia yakin kalau Nina tahu pasti rekasinya menyebalkan. Dan Husna akan menjadi gossip nasional di tempat kosnya.
“Jangan-jangan itu sajadah curian dan ketahuan oleh pemiliknya.” Sontak Husna menoleh.
“Enak aja! Emang aku keturunan maling.” Mata Husna melotot galak.
“Atau jangan-jangan uang yang kamu pakai untuk membeli adalah hasil korupsi.” Mimik Nina dibuat seolah-olah serius.

“Heh, mikir dong kalau ngomong. Mana ada orang korupsi buat beli sajadah? Emangnya Allah bisa disuap dengan sajadah? Yang ada, korupsi buat beli rumah, mobil mewah dan jalan-jalan keluar negeri.”
“Yaa, kali aja ini lain.”
“Sudahlah, lama-lama kamu ngaco ngomongnya. Memang sebaiknya aku tarawih di rumah aja.”
“Eh, ingat tujuan kita. Kemarin kita bersepakat bahwa akan tarawih di masjid. Bukan hanya itu, kita pun tidak boleh mengambil tempat di shaf yang sama. Agar kita bisa membaur dengan remaja dan ibu-ibu yang lain. Katanya ingin membuat forum kajian untuk remaja dan ibu-ibu. Belum-belum sudah mutung. Kapan berhasil dakwah kita kalau seperti ini?”

Husna tersenyum dalam hati melihat Nina berkata sebijak itu. Dalam hati ia senang punya teman yang ceria dan baik seperti Nina. Meskipun sering iseng dan jail.
“Katanya kita ini sodara. Kalau ada masalah kan harus dipecahkan bersama. Apalagi kalu ternyata masalahnya bisa menghambat tujuan mulia kita.”
“Baiklah, tapi kamu harus berjanji satu hal.”
“Oke.”
“Kamu harus serius.” Nina mengangguk mantap.

* * * * * *
Awalnya Husna begitu senang membawa sajadah birunya ke masjid untuk sholat tarawih. Itu memang sajadah kesayangannya karena ia membeli dari hasil tabungannya saat SMU. Ia pun berharap sajadahnya bisa membawa berkah di awal bulan suci ini. Siapa tahu ada orang yang juga membutuhkan alas sholat. Kalau hal itu terjadi peluang mendapat pahala semakin banyak. Dan ternyata impiannya tidak percuma.

“Terimaksih, Dek. Tadi saya buru-buru ke masjid. Jadi lupa nggak bawa sajadah.” Seorang ibu setengah baya tersenyum ramah ketika membagi sajadah dengannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat sholat mulai tampaklah sebuah permasalahan yang bagi Husna tidak bisa diremehkan. Shof sholat tidak rapat. Padahal Umar bin Khottob pernah merapikan shof dengan pedangnya karena begitu pentingnya shof yang rapat dan lurus agar tidak ada celah bagi syetan untuk engganggu selama solat.

Husna meyakini bahwa penyebab utama dari fenomena yang ada di depannya bisa jadi karena mereka tidak tahu betapa pentingnya shaf sholat yang rapat dan rapi. Dan kondisi itu diperparah dengan sajadah. Para jamaah sholat lebih memilih posisi di tengah sajadah masing-masing. Mereka tidak peduli sisa tempat yang akibat sajadah yangyang mereka bawa. Bahkan ada beberapa orang yang tanpa beban meletakkan sajadahnya sehasta di sebelah sajadah lainnya. Padahal kalau mau, tempat itu masih bisa diisi satu orang lagi. Tapi entahlah, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan jika kesalahan dilakukan bersama maka statusnya kan berubah menjadi benar.

Sebenarnya sang imam selalu mengingatkan agar merapatkan dan meluruskan shaf sebelum sholat. Api seruan imam itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Buktinya setiap hari kondisinya selalu sama. Dan Husna bertekad akan berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang ada. Baginya ini adalah peluang amal yang harus dimanfaatkan.

* * * * * *
Husna membalas tatapan sinis seorang ibu muda denngan senyum termanisnya. Ibu muda itu kelihatan dari orang yang cukup berada. Mukenanya jelas tergolong mahal, tapi sayang wajahnya tidak ramah. Kalau saja ia mau tersenyum sedikit saja, pasti kelihatan cantik. Mersa senyumnya tak berbalas, Husna mersa jengah juga dipandangi seperti itu.

“Ehm…, maaf, tante. Apa ada yang salah dengan saya?” Husna bertanya dengan hati-hati. Suaranya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu yang lain.
“Lho, nggak nyadar juga. Tampangnya, sih mahasiswa. Ternyata nggak tahu sopan santun.! Jawabnya pedas. Meskipun suara si Tante pelan tapi cukup membuat wajah-wajah di sekitarnya menoleh kearah mereka.

“Kenapa Anda nempel-nempel dekat saya? Seenaknya saja menumpuki sajadah saya dengan sajadah murahan! Ini sajadah mahal, saya beli di Arab waktu haji. Harganya mahal tau. Emang kalau lecek mau ngganti?” Muka Husna seperti disiram lahar gunung merapi yang baru meletus. Wajahnya memerah seperti tomat yang masak. Telinganya memanas, begitu pula matanya. Matanya segera terpaku pada sajadah biru yang menutupi sebagian sajadah si Tante. Dia melakukan semua itu karena ingin shaf shalat menjadi rapat. Apalagi posisinya yang ada di ujung paling kiri barisan membuatnya harus mendekat ke arah kanan. Tapi Husna benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.

Dengan cepat si Tante berdiri dan menyambar sajadah mahalnya. Ia bergegas ke barisan belakang meninggalkan Husna dalam sorotan mata dengan berjuta ekspresi. Ada ekspresi simpati karena kasihan, ekspresi gemes dan gregetan, ekspresi geli karena menahan tawa sampai yang cuek seolah tak terjadi apa-apa. Husna tidak lagi peduli dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya. Yang ia rasakan cuma satu : malu.

* * * * *
Husna mulai berhati-hati bersikap karena tak semua niat baik berbuntut manis. Kali lain ia duduk di sebelah seorang gadis sebayanya. Sajadah gadis itu cukup lebar hampir separo sajadahnya. Setelah meminta ijin, Husna meletakan sajadahnya di bawah sajadah merah si Gadis. Husna menjelaskan alas an sikapnya pada si Gadis. Sambutan si gadis sangat baik terutama ketika Husna emnjelaskan tentang pentingnya shaf sholat yang rapid dan rapat. Tapi sambutan hangat itu segera lenyap ketika seorang nenek menghampiri mereka.

“Neng, kenapa sajdah saya dipake? Nenek itu baru belajar sholat dan harus pake sajadah biar nggak kedinginan. Masa baru ditinggal wudhu sebentar sajadah sudah lenyap. Di bulan suci begini kok ya masih sempat ngembat barang orang.”
Husna berusaha tersenyum dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

“Maaf, Nek saya dari tadi di sini. Dan ini sajadah saya. Mungkin Nenek lupa menaruh sajadah nenek. “ Husna menjaga kalimatnya dengan hati-hati. Gadis di sebelahnya meliriknya curiga.
“Kalau itu memang sajadah Neng, kenapa mesti disembunyikan di bawah sajadahnya?” tangan si Nenek menunjuk sajadahnya yang tertutup oleh sajadah si Gadis. Tiba-tiba si Gadis berdiri.
“Maaf, Mbak. Saya nggak mau sajadah saya dijadikan tempat menyembunyikan barang curian.” Husna ingin menjelaskan lebih jauh tapi si Gadis terlanjur pergi.

* * * * *
Tawa Nina hampir meledak. Ia tutup mulutnya agar tidak bersuara karena teringat pesan Husna. Setelah berhasil menguasai diri ia mulai bersuara .
“Kok nasibmu sial banget. Trus, si Nenek gimana?”
“Pas si Gadis pergi si Nenek baru sadar bahwa sajadahku memang berbeda, hanya mirip saja. Dia baru ingat bahwa sajadahnya dititipkan ke cucunya.”

“Ya udah mending nggak usah bawa saja.”
“Sudah kucoba kemarin.”
“Trus hasilnya?”
“Aku harus mencuci mukenaku kemarin.”
“Apa hubungannya?”
“Kemarin aku kan telat, terpaksa sholat di teras yang basah karena hujan. Dan tidak ada seorang pun yang membagi sajadahnya untukku.” Nina mendengus prihatin sekaligus salut dengan upaya keras Husna untuk mengubah budaya shaf yang tidak rapat.

“Ya, sudah. Kesepakatan untuk berpencar selama tarawih kita cabut saja dulu. Untuk shaf yang rapat sepertinya kita harus memberi contoh.”
“Maksudnya?”
“Kita sholat besebalahan saja. Biar orang-orang melihat kelurusan dan kerapian shaf kita. Sekalian kita mencoba memahamkan tentang pentingnya shaf yang rapat dan lurus.”

“Sepertinya itu ide yang bagus. Tapi sekarang aku bawa sajadah nggak?”
“Aduu…uh! Sajadah lagi, sajadah lagi. Nggak usah bawa aja dulu. Ntar bermasalah lagi.”
Berdua, mereka segera bergegas ke Masjid As Syuhada.. Sampai di masjid, suasana begitu lengang. Sholat isya telah dimulai. Mereka segera mencari tempat. Tapi sayang, tidak ada tempat yang bisa dipakai dua orang sekaligus.
“Sudah, kamu di sini aja. Aku akan mencari tempat lain. Ntar keburu habis sholat isya’nya. Sepertinya ini raka’at terakhir.”
“Tapi kamu kan, nggak bawa sajadah.”

“Nggak apa-apa. Hari ini kan, tidak hujan jadi lantainya nggak basah.” Setelah bersusah payah alhirnya Husna menemukan tempat yang berada di sela-sela shaf. Sekilas Husna melirik ke kir, dan dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang di sebelahnya adalah nenek yang menudunhnya mencuri beberapa hari lalu. Sebenarnya Husna ingin mencari tempat lain. Tapi selain susah, juga akn menyita banyak waktu. Husna hampir saja melakukan takbiratul ikrom ketika si Nenek menoleh dan tersenyum ke arahnya. Belum hlang rasa kagetnya, si Nenek malah membungkuk dan mengambil sajadahnya. Si Nenek berbagi sajadah dengannya. Reflek Husna menolak.

“Lho, Nek nggak usah.” Spontan Husna bicara pada Nenek yang seharusnya masih sholat.
“Nggak apa-apa. Maaf ya, kejadian kemarin.” Dengan santai si Nenek melanjutkan sholatnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tinggal Husna yang kebingungan dengan semua yang terjadi.
Ah, kalau saja aku tadi membawa sajadah pasti pasti Nenek tidak perlu berubuat begitu. Pe-er shaf belum selesai sudah ditambah pe-er Nenek yang harus diajari tentang tata cara sholat yang benar. Semoga ini adalah lading amal baru yang bisa menjadi pendulang pahala.

Saat tarawih di Masjid As Syuhada BTN Mastrip Jember


Sumber : Istana Cerpen

[+/-] Selengkapnya...

Ramuan ajaib

Ramuan Ajaib

Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.

Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.

Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.

“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.

Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.

“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”

“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.

“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.

Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.

“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.

* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.

Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.

“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.

“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”

“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”

“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.

“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.


Sumber : Istana Cerpen

[+/-] Selengkapnya...

hadiah Kejujuran

Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat yang baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus matematika. Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat melekat di otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus hafalannya.

Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar juara pertamanya direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi ayahnya sudah berjanji akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil merebut kembali juara pertama.

“Luas kerucut adalah…, adalah… aahhh…! Lupa lagi!” Keluhnya kesal. Matanya kembali melihat buku diktatnya. Memandangnya dengan alis bertaut, bibir terkatup. Menutupnya lagi. Menghafal lagi. Dan… lupa lagi! Matanya hampir tertutup karena kantuk. Tapi Firman belum menyerah. Ia paksa matanya tetap terjaga. Seteguk susu diharapkan mampu menahan kantuk yang sering menyerang tiba-tiba.

Ia buka lembar yang lain. Matanya kembali memejam.
“Luas kubus adalah 6 X sisi X sisi. Luas tabung …, luas tabung …, tuh, kan. Lupa lagi!” Dengusnya sedikit keras. Tangan kanannya dengan malas membuka-buka lagi bukunya. Betapa terkejutnya saat Firman sadar kalau banyak sekali rumus yang belum dihafalnya. Sementara detik demi detik terus berlalu dan hampir menunjuk jam sebelas malam.

“Tak ada cara lain.” Desisnya hampir tak terdengar.
Tangannya segera menyobek kertas. Kemudian dengan cepat ia menyalin rumus-rumus yang belum dihafalnya. Dengan tulisan yang acak-acakan, akhirnya Firman pun selesai. Segera ia menuju kasur empuknya. Kertas yang berisi rumus pun di bawanya. Hatinya gelisah. Bagaimana kalau besok Bu Guru tahu saat aku nyontek? Tanyanya dalam hati. Tapi kalau nggak nyontek, pasti aku tidak bisa. Tapi kalau nyontek, berarti aku curang. Tapi kalau tidak nyontek aku tidak jadi punya sepeda baru. Tapi…. tapi… Sebelum sempat melanjutkan kegelisahannya, Firman tertidur.

* * *
“Firman.” Suara itu mengagetkan Firman. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat.
“Serahkan kertas itu!” Pinta Bu Guru tegas. Tangannya yang masih gemetar memberikan sesobek kertas yang berisi salinan rumus matematika.

“Karena menyontek, semua nilaimu akan dikurangi.” Kata Bu Guru sambil mengambil lembar jawabnnya. Wajahnya menunduk. Lemas. Malu. Semua teman-temannya melihat ke arahnya.
“Huu… ternyata Firman pinter karena nyontek! Pantes jadi juara.”
“Firman, curang!”
“Firman pembohong!”
“Juara nyontek!”
“Huu…!”
Suara teman-temannya mencibir, mengolok dan mencemooh. Firman tidak tahan lagi. Ia pun berdiri.
“Aku tidak pernah menyontek! Tidak pernah!” Teriaknya keras-keras.

“Firman. Firman. Ayo bangun. Sholat subuh dulu.” Suara Ibu terdengar. Pipinya ditepuk berkali-kali.
“Kamu kenapa? Mimpi buruk ya?” Firman tergagap. Tubuhnya masih berkeringat. Mimpinya benar-benar seperti nyata.
“Ayo, Ayah sudah menunggu untuk sholat.”
“Iya, Bu.” Dengan perasaan yang masih takut Firman pergi meninggalkan kamarnya. Setelah berwudhu, ia bergabung dengan ayah dan ibunya untuk sholat.

Setelah sholat, Firman merenungi mimpinya. Ia pandangi kertasnya.
“Aku tidak boleh melakukannya.” Tekadnya dalam hati. Firman pun melanjutkan belajarnya. Ia tetap berusaha menghafalkan rumus-rumus matmatika. Ia tidak lagi berpikir untuk menyontek. Ia terus komat-kamit dengan mata terpejam. Sesekali matanya membuka untuk memstikan bahwa yang hafalannya benar. Kemudian memejam lagi. Komat-kamit lagi. Sampai ibunya masuk dan mengingatkannya untuk segera mandi dan bersiap-siap sekolah.

“Ayo, Firman. Nanti telat. Ayah sudah mandi, lho.”
Firman bergegas mandi dan bersiap-siap. Dengan sedikit tergesa ia memakai seragamnya. Memakai sepatunya. Menyambar tasnya. Dan berlari menuju halaman di mana ayah telah siap menunggu. Tak lupa ia meremas-remas dan membuang contekannya ke tempat sampah di halaman. Setelah mencium tangan ibunya, ia masuk ke dalam mobil ayah.
“Bu, berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Teriaknya sambil berlalu.

* * *
Dua minggu berlalu. Hari ini adalah pembagian rapot. Ayahnya yang mengambil, sedang firman menunggu di rumah dengan persaan was-was. Ia murung. Sejak ayahnya berangkat sampai sekarang Firman belum ingin makan. Ia yakin akan gagal merebut juara pertama lagi. Tapi Firman pasrah. Toh memang Firman memang sering sakit sehingga tidak masuk sekolah. Di lihatnya jam dinding dengan gelisah.Entah mengapa ia merasa jarum jam itu jadi lambat jalannya. Dengan malas, ia pun melanjutkan membaca buku ceritanya.

“Assalamu’alaikum,” Suara ayah terdengar dari depan bersama mobilnya.
“Wa’alikum salam.” Firman melonjak, menaruh buku ceritanya dan berlari ke halaman.
Ayah berjalan sambil membawa rapot di tangan kanan. Jantung Firman semakin deg-degan. Ia remas-remas tangannya.

“Bagaimana, Ayah?” Tanya Firman cemas.
Ayah diam. Firman semakin yakin, kalau ayah marah. Ia pun menunduk, tak berrani menatap wajah ayahnya.

“Sini, Firman. Lihat rapotmu.” ajaak ayah yang telah duduk di teras. Firman mendekat, dan duduk di sebelahnya. Matanya melihat halaman yang ditunjukkan ayah. Ia menelan ludah saat mengetahui kalau ia hanya mendapat peringkat dua.
“Kamu kecewa?” Tanya ayah.
“Iya, Yah.”
“Kenapa?”
“Karena aku hanya peringkat dua.”
“Tapi Ayah tidak kecewa. Ayah bangga.”
Firman kaget. Ia tak mengerti kenapa Ayah bisa bangga padanya. Padahal ia gagal merebut juara pertama.

“Kamu ingin tahu kenapa Ayah bangga?” Firman mengangguk.
“Karena anak Ayah jujur, itu yang membuat bangga.” Kening Firman berkerut tak mengerti.
“Saat hari terakhir ujian, Firman berniat menyontek, kan?” Firman pun teringat dengan salinan rumus yang dibuatnya. Denga malu-malu Firman mengangguk.
“Kertas contekan yang kamu buang ditemukan Ibu.”
“Ini, kan kertasnya?” Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kertas yang sudah lecek bekas diremas-remas. “Ibu menemukan di tempat sampah.” Lanjut Ibunya.

“Karena Firman jujur, Ayah punya hadiah untuk Firman.” Kata Ibu.
“Benar, Yah?” Tanya Firman dengan mata berbinar gembira.
“Tentu saja. Ayo ikut Ayah.” Firman mengikuti langkah Ayah menuju mobil.
Tangan Ayah membuka pintu tengah mobil.
“Wah, sepeda baru! Aku punya sepeda baru! Terimaksih, Ayah.”
“Ini hadiah kejujuran untuk Firman.”

Firman tidak jadi menyesal karena gagal menjadi juara pertama. Ia gembira karena kejujurannya membawa berkah. Ia berjanji tidak akan menyontek selamanya


Sumber : Istana Cerpen

[+/-] Selengkapnya...

Sepotong Burger

“Nah, Sarah. Sekarang kita sudah sampai. Jangan lupa untuk memasukkan uang yang seribu ke kotak infak nanti.”
“Iya, Ma.” Sarah pun turun dari sepeda motor dan mencium tangan mamanya. Tak lupa Sarah mengucapkan salam dan melambaikan tangannya sebelum memasuki gerbang sekolah.
“Doakan aku menang ya, Ma!”

Di halaman, dua sahabat Sarah telah menunggu. Mereka adalah Norma dan Maryam. Tangan mereka segera melambai saat Sarah masuk ke halaman sekolah.
“Sarah! Ke sini!” Teriak Norma tidak sabar. Sarah pun berlari menuju bangku taman tempat kedua sahabatnya duduk.

“Kamu sudah siap untuk lomba nanti siang?” Tanya Maryam pada Sarah.
“Insyaallah sudah. Semua perlengkapan menggambar telah kubawa. Aku juga sudah punya rencana tentang gambar yang akan kubuat. Sebuah air terjun yang jernih, dengan bau yang besar-besar. Di dekat air terjun itu ada sebuah gubuk kecil yang halamnnya banyak ditumbuhi bunga-bunga.” Jawab Sarah sambil duduk menjajari mereka. Sarah memang terpilih

“Wah, sepertinya akan menjadi gambar yang bagus. Semoga menang, ya.” Sambung Norma dengan mata berbinar.
“Eh, Norma. Lihat itu. Pak Burger datang lagi.” Maryam menunjuk seorang lelaki yang menghentikan gerobak di depan gerbang sekolah. Di dalam gerobak yang terbuat dari kaca, tampak tumpukan burger yang lezat. Di kaca tertempel harga burger Rp. 1500 berwarna kuning.
“Iya, dia datang lagi.” Balas Norma. Sarah yang selama ini belum pernah melihat Pak Burger jadi tertarik.

“Emang kalian pernah beli?”
“Iya. Dua hari yang lalu. Rasanya enak banget.”
“Isinya apa?”
“Ada daging ayam, sosis, selada,dan saus. Ehm…mm pokoknya lezat.” Maryam berkata sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Kelihatannya enak.” Gumam Sarah.
“Kamu pengen beli? Beli sekarang saja. Pak Burger nggak datang setiap hari lo.”
“Iya. Mumpung kita belum masuk kelas. Bisa-bisa Pak Burgernya pergi.”
“Norma, aku pengen ke kamar mandi. Anterin ya?” Maryam memegangi perutnya sambil meringis memandang Norma.
“Ayo. Eh, Sarah kita ke kamar mandi dulu , ya.” Sarah pun mengangguk.

Benar saja. Tak lama setelah kedua temannya pergi, Pak burger tampak menggeser gerobaknya. Sarah pun bingung. Dia ingin sekali merasakan Burger itu. Tapi di tasnya hanya ada uang dua ribu perak. Seribu untuk jajan dan seribu untuk dimasukkan kotak infak yang biasa keliling tiap jum’at pagi sebelum pelajaran dimulai.

Sarah berpikir sejenak. Seulas seyum pun segera menghias wajah mungilnya yang dibalut kerudung putih.
“Aha…! Bukankah aku selalu dapat uang saku setiap hari? Kalau uang infak kupakai beli burger lima ratus, minggu depan aku akan dapat menggantinya dengan uang sakuku.” Sarah pun segera berlari menuju gerbang sekolah.

“Pak Burger! Belii…!” Teriakan Sarah membuat Pak Burger menghentikan gerobaknya.
“Beli berapa, Neng?” Tanya Pak Burger sambil membuka kotak kacanya.
“Satu aja, Pak.” Sarah menyerahkan dua lembar ribuan kepada Pak Burger. Kemudian Pak Burger memberinya sekeping uang logam senilai limaratus rupiah.

“Benar-benar burger yang enak.” Sarah memakan burgernya dengan nikmat. Menggigitnya pelan, mengunyah dengan lembut dan menelannya. Tepat saat memasukkan potongan burger terakhirnya, bel tanda masuk berbunyi. Sarah segera bergegas menuju kelasnya sambil membersihkan sisa burger yang menempel di sudut mulutnya.

* * *
Tee…et! Tee…et! Tee…et!
Waktunya istirahat. Itu artinya Sarah harus menyiapkan alat menggambarya untuk mengikuti lomaba menggambar. Namun sarah tidak melakukan apap-apa. Ia hanya menunduk lesu.
“Sarah. Kamu kan harus segera menuju lapangan sekolah. Semua peserta lomba menggambar sedang bersiap-siap menuju ke sana. Nanti kamu terlambat.” Norma menghampiri bangku Sarah yang terletak dua bangku di belakangnya.

Sarah mendongak sambil meringis.Wajahnya tampak pucat.
“Kamu kenapa?” Tanya Norma cemas.
“Perutku sakit sekali. Kepalaku juga pusing.” sarah kembali meletakkan kepalanya ke meja.
“Maryam, sebaiknya kamu menemui Bu Fatimah dan bilang kalau Sarah sakit. Biar aku menemani Sarah di sini.”

Maryam pun bergegas pergi. Tak lama kemudian, Maryam sudah kembali bersama Bu Fatimah.
“Kenapa Sarah?”
“Perut saya sakit, Bu. Kepala saya pusing.”
“Tadi Sarah makan apa?” Tanya Bu Fatimah.

Sarah diam sejenak. Ia teringat burger lezat yang dimakannya sebelum masuk kelas. Sarah pun sadar bahwa ia merasakan sakit perut dan pusing tak lama setelah makan burger.
“Makan burger, Bu.”
“Kalau begitu Sarah ke ruang UKS dulu ya. Sebentar lagi mamamu akan menjemput. Tadi Ibu sudah menelpon mamamu.” Saran Bu Fatimah dengan lembut.
“Tapi saya harus ke lapangan untk mengikuti lomba, Bu.”
“Saat ini kamu harus istirahat. Kalau memaksa ikut, kamu akan tambah sakit. Jadi sekarang kita ke UKS saja sambil menunggu mamamu datang.”

Sarah tak bisa beruat apa-apa. Dengan lemas, ia mengikuti langkah Bu Fatimah menuju ruang UKS. Sarah benar-benar menyesal telah membeli burger dengan uang yang seharusnya untuk infak. Gara-gara burger itu, Sarah tidak dapat mengikuti lomba menggambar. Perutnya jadi sakit dan kepalanya pusing.Sarah hanya bisa menangis menyesali apa yang telah dia lakukan.

“Nah itu, mamamu sudah datang.” Kata Bu Fatimah sambil menunjuk seorang wanita yangs edang berjalan ke arah mereka.
“Mama..!” teriak Sarah sambil berjalan sedikit cepat.
“Kenapa, Sarah?”
“Ma, maafkan Sarah ya, Ma. Hu…hu….huu…” Sarah memeluk mamanya erat sambil menangis.
“Sarah kenapa? Sarah kan nggak salah apa-apa.” Tanya mama bingung.
“Sarah salah, Ma. Sarah nggak menuruti pesan Mama. Tadi Sarah hanya memasukkan uang lima ratus ke kotak infak. Yang lima ratus Sarah belikan burger. Akhirnya Sarah sakit perut dan pusing. Sarah juga nggak bisa ikut lomba menggambar. Sarah menyesal.”

Tangan Mama memeluk Sarah dengan erat. Kemudian Sarah di ajak duduk di bangku.
“Kalau Sarah sakit setelah makan burger itu, tandanya Allah masih sayang sama Sarah.”
“Mana mungkin Allah masih sayang sama Sarah? Bukankah Sarah tidak patuh pada Mama?” Tanya Sarah tak mengerti.
“Karena Allah tidak ingin Sarah mengulangi perbuatan itu, makanya Allah memberi rasa sakit pada Sarah. Kalau Sarah tidak sakit, pasti Sarah ingin mengulangi lagi perbuatan tadi. Allah ingin Sarah menjadi anak yang baik.”

“Apa Allah mau memaafkan Sarah, Ma?”
“Tentu saja. Asalkan Sarah benar-benar menyesal dan tidak mengulangi perbuatan itu.Dan jangan lupa untuk meminata maaf pada Allah. Sekarang ayo kita pulang.”
Sarah menurut. Ia tak peduli lagi dengan teman-temannya yang sedang mengikuti lomba menggambar. Hari ini Sarah telah mendapatkan pelajaran berharga. Sarah bertekad dalam hati untuk tidak jajan dengan uang infak.

Sumber : Istana Cerpen

[+/-] Selengkapnya...

Sang Ratu

Kerjanya hanya bertelur dan makan. Ia tidak perlu capek mencari makanan seperti semut-semut pekerja. Tapi bukankah aku tidak boleh menyesali takdir. Pasti Allah mempunyai tujuan tertentu menjadikan aku sebagai semut biasa.

Langkah Sang Ratu berhenti pada sebutir telur yang tampak bersih dan besar. “Sepertinya telur ini yang akan menggantikanku kelak.” Ruangan yang semula sunyi kini menggema karena suara Sang Ratu. Dinding-dinding tanah memantulkan suara Sang Ratu dengan nanar. “Kerajaan semut kita tidak akan musnah. Prajurit kita cukup banyak. Meskipun ratusan semut akan mati karena kekejian manusia, itu tidak akan memberi dampak yang berarti. Telur-telur ini akan segera menggantikan mereka dengan semangat dan kekuatan baru.” Senyap. Tak ada sahutan untuk kalimat Sang Ratu. Dan memang itu tidak perlu. Sang Ratu tidak pernah membutuhkan komentar dari semut pekerja sepertiku. Hanya udara yang menggema. Puas melihat keadaan telur-telurnya, Sang Ratu melangkahkan kakinya menuju ruang yang ada di seberang lorong. Dan aku, masih setia mengikuti langkah kaki tegapnya. Setia. Satu kata itu yang selama ini tertanam kuat dalam jiwaku. Bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi pengawalnya.

Dua ekor semut penjaga menyambut kedatangan kami. Bibir mereka melempar senyum. Tapi aku yakin senyum ramah mereka hanya mendapat balasan dariku. Bukan dari Sang Ratu. Ada bau khas yang langsung menyergap hidung di ruangan yang cukup luas ini. Aneka makanan menjadi hiasan tersendiri. Ada butiran gula, serpihan roti sampai bau khas daging. Saraf-saraf di kepalaku langsung mengirim sinyal ke kelenjar liur untuk memproduksi cairan. Tapi keinginanku tinggal bayangan. Semua makanan di ruangan ini memang untuk Sang Ratu. Untuk semut sepertiku ada bagian tersendiri.

Sang Ratu tampak lahap menikmati hidangannya. Bahkan kalau boleh aku katakan Sang Ratu sangat rakus. Disela-sela mengunyah, suaranya kembali menggema. “Aku harus makan yang banyak agar sehat dan kuat. Dengan begitu, aku segera bertelur lagi. Kalau telurku banyak, kalian juga akan senang. Kekuatan kita akan semakin besar.” Hanya dinding yang menyahut dengan gaungnya. Namun tiba-tiba ada getaran yang tercipta. Gemuruh dinding yang mengguncang semuanya. Gelegar dan gempa. Bumi berguncang. Tubuhku berguncang. Makanan dan tubuh Sang Ratu juga bergetar. Dinding-dinding tanah …


Sumber : Istana Cerpen

[+/-] Selengkapnya...

Balada Sebuah Tugas Statistik

[ Cerpen Deteksi Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008 ]

Oleh Retno Wi

Brakk!!…

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?

Brak!!…

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.

Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”

“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”

“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”

“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….

Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.

Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”

****

Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?

“Lo sendiri?”

“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

“Pulang?”

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

“Trus, tugas statitiskmu?”

“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.

“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”

“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”

“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”

“Maksudnya?”

“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”

“Jadi?”

“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.


Sumber : Istana Cerpen

[+/-] Selengkapnya...

Untuk Sahabat

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

Sumber : Cerpen.net

[+/-] Selengkapnya...

Surat Dalam Hujan

Cerpen Rohyati Sofyan Dimuat di Suara Karya 11/16/2008HUJAN. Selalu demikian di bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap nanti. Hujan. Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek, bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku ingat kamu. Aku suka hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan. Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku, entah Mas Herwan FR atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan apa-apa karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada orang-orang untuk suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita dalam hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku kesepian. Apa yang kulakukan. Duduk di kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku membayangkan kamu. Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan begini, apa yang mereka cari? Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku kedinginan. Aliran listrik padam. Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku. Apakah di Bandung saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas mata kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat, buku tertentu, karya sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV? Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional. Dan kamu janji akan mengajariku jika nanti bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberitahu siapa diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing. Sebuah silaturahmi yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun sampai 25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi-bunyi. Bisakah kamu bayangkan? Ah, aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater, atau bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis: Setting: Kamar, 141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik. Barangkali sekaranglah saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya, kamu ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan Terbaik-terbaik bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada yang punya teksnya? Ironis, bukan? Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik. Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul Hari dalam puisi Meja Kayu yang kembali muram-surealis, menulis lagu pedih tentang hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain country. Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi atau Srikandi, perpaduan antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapai puncak Mahameru sementara saudara-saudaranya satu per satu berguguran. Kamu tahu artinya, kan? Aku lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang pernah kita baca waktu kanak-kanak dulu, meski mungkin dalam dimensi yang berbeda. Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu minatku. Aku tak tahu banyak tentang musik, padahal kamu pasti asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yang barusan dimuat koran, kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu mengingatkanku pada Abuy teman SMU-ku yang sangat mengidolakan mereka dan senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah yang bisa meluapkan kegelisahan terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan. Lucu, adakah orang tuli yang begitu besar rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa dirasakan. Katakan aku aneh. Aku memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu lebih banyak tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra. Ya, itu jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu masih menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak, kamu mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar, sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku jatuh cinta sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi dunia. Naifkah? Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di sana gunung begitu dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut yang mengental; terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali bentuknya; kilatan warna perak yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan kuabadikan keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari mulutku pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu untuk mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku. Mungkin cukup lama. Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar. Atau perpaduan perempuan mana yang pernah kau kenal.Hujan

Sumber : Cerpen.net

[+/-] Selengkapnya...