Selasa, 28 Juli 2009

hadiah Kejujuran

Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat yang baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus matematika. Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat melekat di otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus hafalannya.

Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar juara pertamanya direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi ayahnya sudah berjanji akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil merebut kembali juara pertama.

“Luas kerucut adalah…, adalah… aahhh…! Lupa lagi!” Keluhnya kesal. Matanya kembali melihat buku diktatnya. Memandangnya dengan alis bertaut, bibir terkatup. Menutupnya lagi. Menghafal lagi. Dan… lupa lagi! Matanya hampir tertutup karena kantuk. Tapi Firman belum menyerah. Ia paksa matanya tetap terjaga. Seteguk susu diharapkan mampu menahan kantuk yang sering menyerang tiba-tiba.

Ia buka lembar yang lain. Matanya kembali memejam.
“Luas kubus adalah 6 X sisi X sisi. Luas tabung …, luas tabung …, tuh, kan. Lupa lagi!” Dengusnya sedikit keras. Tangan kanannya dengan malas membuka-buka lagi bukunya. Betapa terkejutnya saat Firman sadar kalau banyak sekali rumus yang belum dihafalnya. Sementara detik demi detik terus berlalu dan hampir menunjuk jam sebelas malam.

“Tak ada cara lain.” Desisnya hampir tak terdengar.
Tangannya segera menyobek kertas. Kemudian dengan cepat ia menyalin rumus-rumus yang belum dihafalnya. Dengan tulisan yang acak-acakan, akhirnya Firman pun selesai. Segera ia menuju kasur empuknya. Kertas yang berisi rumus pun di bawanya. Hatinya gelisah. Bagaimana kalau besok Bu Guru tahu saat aku nyontek? Tanyanya dalam hati. Tapi kalau nggak nyontek, pasti aku tidak bisa. Tapi kalau nyontek, berarti aku curang. Tapi kalau tidak nyontek aku tidak jadi punya sepeda baru. Tapi…. tapi… Sebelum sempat melanjutkan kegelisahannya, Firman tertidur.

* * *
“Firman.” Suara itu mengagetkan Firman. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat.
“Serahkan kertas itu!” Pinta Bu Guru tegas. Tangannya yang masih gemetar memberikan sesobek kertas yang berisi salinan rumus matematika.

“Karena menyontek, semua nilaimu akan dikurangi.” Kata Bu Guru sambil mengambil lembar jawabnnya. Wajahnya menunduk. Lemas. Malu. Semua teman-temannya melihat ke arahnya.
“Huu… ternyata Firman pinter karena nyontek! Pantes jadi juara.”
“Firman, curang!”
“Firman pembohong!”
“Juara nyontek!”
“Huu…!”
Suara teman-temannya mencibir, mengolok dan mencemooh. Firman tidak tahan lagi. Ia pun berdiri.
“Aku tidak pernah menyontek! Tidak pernah!” Teriaknya keras-keras.

“Firman. Firman. Ayo bangun. Sholat subuh dulu.” Suara Ibu terdengar. Pipinya ditepuk berkali-kali.
“Kamu kenapa? Mimpi buruk ya?” Firman tergagap. Tubuhnya masih berkeringat. Mimpinya benar-benar seperti nyata.
“Ayo, Ayah sudah menunggu untuk sholat.”
“Iya, Bu.” Dengan perasaan yang masih takut Firman pergi meninggalkan kamarnya. Setelah berwudhu, ia bergabung dengan ayah dan ibunya untuk sholat.

Setelah sholat, Firman merenungi mimpinya. Ia pandangi kertasnya.
“Aku tidak boleh melakukannya.” Tekadnya dalam hati. Firman pun melanjutkan belajarnya. Ia tetap berusaha menghafalkan rumus-rumus matmatika. Ia tidak lagi berpikir untuk menyontek. Ia terus komat-kamit dengan mata terpejam. Sesekali matanya membuka untuk memstikan bahwa yang hafalannya benar. Kemudian memejam lagi. Komat-kamit lagi. Sampai ibunya masuk dan mengingatkannya untuk segera mandi dan bersiap-siap sekolah.

“Ayo, Firman. Nanti telat. Ayah sudah mandi, lho.”
Firman bergegas mandi dan bersiap-siap. Dengan sedikit tergesa ia memakai seragamnya. Memakai sepatunya. Menyambar tasnya. Dan berlari menuju halaman di mana ayah telah siap menunggu. Tak lupa ia meremas-remas dan membuang contekannya ke tempat sampah di halaman. Setelah mencium tangan ibunya, ia masuk ke dalam mobil ayah.
“Bu, berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Teriaknya sambil berlalu.

* * *
Dua minggu berlalu. Hari ini adalah pembagian rapot. Ayahnya yang mengambil, sedang firman menunggu di rumah dengan persaan was-was. Ia murung. Sejak ayahnya berangkat sampai sekarang Firman belum ingin makan. Ia yakin akan gagal merebut juara pertama lagi. Tapi Firman pasrah. Toh memang Firman memang sering sakit sehingga tidak masuk sekolah. Di lihatnya jam dinding dengan gelisah.Entah mengapa ia merasa jarum jam itu jadi lambat jalannya. Dengan malas, ia pun melanjutkan membaca buku ceritanya.

“Assalamu’alaikum,” Suara ayah terdengar dari depan bersama mobilnya.
“Wa’alikum salam.” Firman melonjak, menaruh buku ceritanya dan berlari ke halaman.
Ayah berjalan sambil membawa rapot di tangan kanan. Jantung Firman semakin deg-degan. Ia remas-remas tangannya.

“Bagaimana, Ayah?” Tanya Firman cemas.
Ayah diam. Firman semakin yakin, kalau ayah marah. Ia pun menunduk, tak berrani menatap wajah ayahnya.

“Sini, Firman. Lihat rapotmu.” ajaak ayah yang telah duduk di teras. Firman mendekat, dan duduk di sebelahnya. Matanya melihat halaman yang ditunjukkan ayah. Ia menelan ludah saat mengetahui kalau ia hanya mendapat peringkat dua.
“Kamu kecewa?” Tanya ayah.
“Iya, Yah.”
“Kenapa?”
“Karena aku hanya peringkat dua.”
“Tapi Ayah tidak kecewa. Ayah bangga.”
Firman kaget. Ia tak mengerti kenapa Ayah bisa bangga padanya. Padahal ia gagal merebut juara pertama.

“Kamu ingin tahu kenapa Ayah bangga?” Firman mengangguk.
“Karena anak Ayah jujur, itu yang membuat bangga.” Kening Firman berkerut tak mengerti.
“Saat hari terakhir ujian, Firman berniat menyontek, kan?” Firman pun teringat dengan salinan rumus yang dibuatnya. Denga malu-malu Firman mengangguk.
“Kertas contekan yang kamu buang ditemukan Ibu.”
“Ini, kan kertasnya?” Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kertas yang sudah lecek bekas diremas-remas. “Ibu menemukan di tempat sampah.” Lanjut Ibunya.

“Karena Firman jujur, Ayah punya hadiah untuk Firman.” Kata Ibu.
“Benar, Yah?” Tanya Firman dengan mata berbinar gembira.
“Tentu saja. Ayo ikut Ayah.” Firman mengikuti langkah Ayah menuju mobil.
Tangan Ayah membuka pintu tengah mobil.
“Wah, sepeda baru! Aku punya sepeda baru! Terimaksih, Ayah.”
“Ini hadiah kejujuran untuk Firman.”

Firman tidak jadi menyesal karena gagal menjadi juara pertama. Ia gembira karena kejujurannya membawa berkah. Ia berjanji tidak akan menyontek selamanya


Sumber : Istana Cerpen

2 komentar:

  1. jarang sekali ada hadiah atau penghargaan untuk sebuah kejujuran..

    BalasHapus
  2. nice!!^^
    numpang copas boleh?
    mau pake buat tugas soalnya!!
    please banget!><
    Makasih..

    BalasHapus