tag:blogger.com,1999:blog-29267700791331817752024-03-07T20:37:19.323-08:00Kumpulan CerpenSanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-44927503324812658902009-07-28T01:59:00.000-07:002009-07-28T02:01:08.951-07:00Snow WhitePada suatu hari ketika musim salju, seorang ratu sedang menjahit dan tanpa sengaja jarinya terkena jarum dan berdarah. <p>“Yee, orang aku pakai mesin jahit kok…”</p> <p>Tiba-tiba mesin jahitnya meledak! Bunyinya BUM! Ruangan sang ratu menjahit hancur berkeping-keping, mesin jahit itu hancur lebur, ruangan-ruangan di sebelahnya rusak parah, saluran listrik, air, gas, telpon, internet, satelit, dan eee… sambungan telpon dengan benang, semuanya nonaktif. Bisa dibayangkan dong gimana keadaan sang ratu… Jari sang ratu terkena jarum dan berdarah.<span id="more-1277"></span></p> <p>…</p> <p>Sang ratu melihat tetesan darah yang terjatuh di atas salju putih.</p> <p>“Seandainya saja aku memiliki anak perempuan yang seputih salju, semerah darah, dan sehitam bingkai jendela itu.”</p> <p>…</p> <p>Disana nggak ada bingkai jendela, sungguh.</p> <p>Beberapa tahun kemudian sang ratu melahirkan anak perempuan yang sesuai keinginannya. Kulitnya hitam, matanya merah, dan rambutnya putih.</p> <p>…</p> <p>Sang ratu nggak ingin anak seperti itu, jadi kelahiran anaknya tadi dibatalkan. Kemudian ia menggambarkan gambar anak yang diinginkannya, berkulit putih kemerahan dan berambut hitam seperti bingkai jendela itu.</p> <p>…</p> <p>Bingkai jendela yang mana sih?</p> <p>Sang ratu kemudian menyerahkan draft itu ke desainer dan kemudian desainer menyerahkan pada dokter. Sang ratu melahirkan anak sesuai keinginannya, dan anak itu dinamai Snow White. Tidak lama kemudian sang ratu meninggal, kematiannya dimungkinkan karena keracunan, sebab ditemukan zat pewarna putih, hitam, dan merah di rahimnya. Hitamnya seperti bingkai jendela itu.</p> <p>…</p> <p>Bingkai yang di dekat vas itu bukan?</p> <p>Sang raja yang mengetahui kematian istri yang sangat dicintainya sepenuh hati shock berat, karena itulah ia menikah lagi dengan wanita cantik yang ia pilih dari seluruh penjuru dunia, saking shocknya.</p> <p>Meskipun cantik, wanita itu agak aneh. Ia sering bicara sendiri dengan cermin, padahal di kerajaan nggak ada cermin. Karena itu ia mendatangi toko cermin.</p> <p>“Mas, ada cermin yang enak diajak omong nggak?”</p> <p>Penjual cermin berpikir, dia ini pasti ratu talking-to-mirror-mirror-hanging-on-the-wall-you-do-not-have-to-tell-me-who-is-the-biggest-fool-of-all yang dinikahi raja. Tapi bagaimanapun juga ia sangat menghormati raja.</p> <p>“Hei, ratu bodoh! Kalau mau cermin ke belakang sana! Apa?! Gitu aja minta diantar?! Manja!”</p> <p>Ratu sangat terkejut, ia menangis…</p> <p>“Ternyata ada juga yang tahu kalau aku ini bodoh, aku sangat terharu…”</p> <p>Ratu baru itu kemudian tiba di ruangan penuh cermin. Ia mengajak salah satu cermin bicara.</p> <p>“Cermin-cermin di dinding, siapakah gadis yang paling cantik?”</p> <p>Cermin itu kemudian menjawab.</p> <p>“Hei, siapa yang kamu maksud? Aku?”</p> <p>“Yaaa… Iyalaaah…”</p> <p>“Kalau gitu jangan pakai jamak, dasar ratu bodoh!”</p> <p>“Wah kamu juga tahu kalau aku bodoh! (senang) Baiklah, cermin di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”</p> <p>“Tergantung…”</p> <p>“Tergantung?”</p> <p>“Kamu sudah melakukan hal itu dengan raja belum?”</p> <p>“Hal itu? Hal yang… Itu? I… tu… Eh, gimana yaaa… Belum…”</p> <p>“Heh (menyindir), dasar anak-anak.”</p> <p>“Apa maksudmu?!”</p> <p>“Kamu nggak tahu ya? Aku dengan istriku sudah melakukan itu puluhan kali.”</p> <p>“Puluhan kali? Melakukan apa? Gimana?”</p> <p>“Sudah ah, aku nggak mau menanggapi anak kecil. Bye.”</p> <p>“…”</p> <p>Ratu baru itu masih agak bingung. Ia pun memilih cermin lain.</p> <p>“Cermin, apakah aku paling cantik?”</p> <p>“Tidak.”</p> <p>“Apa aku cantik?”</p> <p>“Tidak.”</p> <p>“Apa aku cantik?!”</p> <p>“Tidak.”</p> <p>“Apa kamu bisa berbicara yang lain selain tidak?!”</p> <p>“Coba lagi.”</p> <p>“Apa aku cantik?”</p> <p>“Tidak.”</p> <p>“…”</p> <p>Ratu itu merasa pernah melihat hal yang sama di acara televisi kerajaan.</p> <p>Ratu itu pun pasrah dan meninggalkan toko. Seketika ia kembali ia dibelikan cermin oleh raja. Ia senang dan mulai mengajak cermin itu bicara.</p> <p>“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”</p> <p>“Thou, O Queen, art the fairiest of all!”</p> <p>Ratu itu tidak tahu bahasa asing, tapi ia sangat senang karena ia baru kali ini mendengar cermin berbicara. Raja yang mengetahui itupun jadi senang.</p> <p>“Ternyata ia memang suka dengan cermin talking-only-thou-punctuation-o-queen-punctuation-art-the-fairiest-of-all-exclamation yang kubelikan.”</p> <p>Tetapi hal itu tidak lama, tujuh tahun setelah itu (itu lama yo…) Snow White telah menjadi gadis kecil yang cantik. Kulitnya yang putih kemerahan menjadi sangat indah, dan rambutnya yang hitam menjadi sangat menyerupai bingkai jendela itu.</p> <p>…</p> <p>Kalau bukan yang di dekat vas berarti yang mana?</p> <p>Ketika ratu baru (sudah tujuh tahun, sudah lama berarti) itu mencoba berkata pada cermin, ia terkejut.</p> <p>“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”</p> <p>“Thou art fairer than all who are here, Lady Queen. But more beautiful still is Snow-white, as I ween.”</p> <p>“Apa?! Mengapa bicaramu berganti jadi panjang? Pendek aja aku nggak ngerti!”</p> <p>Raja yang mengetahui hal itu cukup kecewa juga.</p> <p>“Kenapa ia tidak suka dengan cermin talking-only-thou-art-fairier-than-all-who-are-here-punctuation-lady-queen-full-stop-but-more-beautiful-still-is-sno-white-punctuation-as-i-ween-full-stop yang baru? Padahal cermin itu lebih mahal?”</p> <p>Ratu menjadi marah kepada Snow White karena namanya disebut di cermin. Ia pun menyuruh assasin untuk membunuh Snow White dan membawa hatinya sebagai bukti.</p> <p>“Hei, ass! bunuh Snow White dan bawa kesini hatinya.”</p> <p>“Kok aku dipanggil ass, sih? Ya udah, nggak papa, nggak ada yang senang kalau aku hidup.”</p> <p>Assasin itu pergi dengan langkah lemas.</p> <p>Tidak butuh waktu lama untuk assasin menemukan Snow White, Snow White berada di depan pintu kamar ratu.</p> <p>“Hai, asin! Mau nemuin mama ya?”</p> <p>“Mengapa sekarang aku dipanggil asin? Nasibku…”</p> <p>“Kenapa, asin?”</p> <p>“Nggak papa, kalau gitu aku nemuin mamamu dulu ya…”</p> <p>“Oke deh kalau gitu…”</p> <p>Assasin kembali ke kamar ratu.</p> <p>“Ratu mencari saya? Atau saya mencari ratu?”</p> <p>“Lho, udah kembali kamu. Gimana ass? Udah dapet hatinya Snow White?”</p> <p>“Eh, hati? Hati… Oh! Err… Anu…”</p> <p>“Wow! Apakah bola yang kamu pegang itu hatinya Snow White? Bagus sekali kerjamu. Nanti bayarannya kukirim ke rekeningmu.”</p> <p>Assasin itu heran juga, ratu kan tahu kalau ini bola? Tapi nggak papa lah, setidaknya ia nggak jadi membunuh seseorang, ia takut dosa.</p> <p>Tiba-tiba Snow White masuk kamar ratu.</p> <p>“Mama, Snow White mau main dulu ya…”</p> <p>“Baiklah, Snow. Hati-hati ya…”</p> <p>“Dah mama…”</p> <p>“Dah Snow…”</p> <p>Assasin yang melihat itu heran, kayaknya ada sesuatu yang… Sudahlah.</p> <p>…</p> <p>…</p> <p>…</p> <p>Kok habis?</p> <p>Lho, katanya sudahlah, ya sudah, sudah habis.</p> <p>…</p> <p>Yaaa… Nggak bisa gitu lah.</p> <p>Kemudian Snow White yang kesepian di hutan kebingungan.</p> <p>Kok Snow White bisa di hutan? Sebelumnya dia kan di istana?</p> <p>…</p> <p>Kemudian Snow White yang kesepian di istana kebingungan.</p> <p>DI istana kok kesepian? Ramai ah.</p> <p>…</p> <p>Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana kebingungan.</p> <p>Nggak kesepian kok kebingungan?</p> <p>…</p> <p>Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana tidak kebingungan.</p> <p>Kalau nggak kebingungan ngapain?</p> <p>…</p> <p>Kemudian Snow White kebingungan bagaimana bisa dia yang sebelumnya berada di istana yang tidak sepi jadi tidak membuatnya kebingungan tiba-tiba berada di hutan yang sepi yang membuatnya lebih bingung lagi.</p> <p>…</p> <p>Hari sudah semakin sore, Snow White yang tersesat di hutan kebingungan, dia terus berlari.</p> <p>“Bagaimana ini, hari semakin sore, garis finisnya masih tidak kelihatan…”</p> <p>Setelah lama dia melihat kotej yang ukurannya kecil, kotej itu sangat kecil sehingga semua perabotannya ditaruh di luar. Disana ada meja yang diatasnya ada 7 piring kecil dengan warna berbeda-beda, ada merah, merah kemerahan, merah kemerah-merahan, merah berbintik merah, merah bergaris merah, putih berlapis merah, dan hitam yang dicat merah. Di atas piring itu hanya ada tepung, tepung, dan tepung.</p> <p>“Apaan sih ini? Semua piring kok isinya tepung? Nggak ada sendok lagi, adanya sumpit.”</p> <p>Bagaimanapun juga, karena ia kelaparan semua tepung itu dimakannya (dengan sumpit). Kemudian ia tertidur karena makan puding rasa obat tidur.</p> <p>Tiba-tiba ada 7 kurcaci yang kelihatannya habis pulang bekerja. Mereka kaget ketika membuka pintu kotejnya.</p> <p>Kurcaci pertama bertanya, “Siapa yang duduk di kursiku?”, ia bertanya sambil duduk di kursinya.</p> <p>Kurcaci kedua, “Siapa yang makan di atas piringku?”, ia bertanya sambil kebingungan mencari piringnya.</p> <p>Kurcaci ketiga, “Siapa yang memakan rotiku?”, ia bertanya sambil makan roti.</p> <p>Kurcaci keempat, “Siapa yang memakan sayurku?”, ketika ia melihat kurcaci ketiga makan roti ia meralatnya, “Siapa yang memakan rotiku?”</p> <p>Kurcaci kelima, “Siapa yang menggunakan garpuku?” … “Kapan aku punya garpu?”</p> <p>Kurcaci keenam, “Siapa yang memotong dengan pisauku?”, ia bertanya sambil menggesek-gesekkan pisaunya ke tangannya, “Aduh!”</p> <p>Kurcaci ketujuh, “Siapa yang minum menggunakan mugku?” … “Jangan dijawab! Aku tidak bertanya padamu!”</p> <p>Kemudian ketujuh kurcaci itu tersadar, di dalam kotejnya kan nggak ada apa-apa…</p> <p>Kayaknya mereka kurang tidur, ketika mereka menuju tempat tidur, mereka kaget.</p> <p>“Siapa yang habis tidur di tempat tidurku?” Kurcaci pertama bertanya.</p> <p>“Bukan, bukan aku!” Kurcaci kedua menyangkal.</p> <p>“Siapa yang bertanya padamu?” Kurcaci ketiga bertanya.</p> <p>“Bagaimana kamu bisa tahu kurcaci pertama tidak bertanya pada kurcaci kedua?” Kurcaci keempat bertanya.</p> <p>“Kenapa sampai sekarang aku nggak punya tempat tidur?” Kurcaci kelima bertanya.</p> <p>“Tempat tidur? Apa itu tempat tidur?” Kurcaci keenam bertanya.</p> <p>“Hei, ada yang tidur di tempat tidurku!” Kurcaci ketujuh tidak bertanya.</p> <p>Keenam kurcaci lain melihat tempat tidur kurcaci ketujuh, disana ia melihat ada seorang gadis yang tertidur pulas.</p> <p>“Lihatlah, cantiknya gadis itu!” Kurcaci pertama berkata.</p> <p>“Iya, cantik.” Kurcaci kedua mengiyakan.</p> <p>“He! Ojok mbebek ae kon! (Hai! Jangan mengangsa saja kau!)” Kurcaci ketiga menghardiknas.</p> <p>“Apa? Aku cantik?” Kurcaci keempat bertanya pertanyaan retoris.</p> <p>“Kamu bukan gadis yoo…” Kurcaci kelima mengklarifikasi.</p> <p>“Diam, diam, nanti gadis itu bangun, kasihan dia.” Kurcaci keenam menasehati teman-temannya.</p> <p>“Aku harus ngomong apa ya?” Kurcaci ketujuh bingung.</p> <p>Ketujuh kurcaci tersebut kemudian tertidur pulas di kasur masing-masing.</p> <p>“Hei, aku harus tidur dimana?” Kurcaci ketujuh akhirnya tahu apa yang harus dikatakan.</p> <p>Esoknya, Snow White terbangun dan kaget melihat kurcaci.</p> <p>“Hai, aku kaget lho…”</p> <p>Ketujuh kurcaci tersebut ikutan terbangun.</p> <p>“Ah”, “rupanya”, “kamu”, “sudah”, “terbangun”, “dari”, “tidurmu.” (kata-kata tersebut diucapkan secara berurutan oleh kurcaci)</p> <p>“Kalian pemilik kotej ya? Maafkan aku, aku telah memakan semua tepung kalian… Tapi kalian kok makannya tepung?”</p> <p>1. “Ah itu… Nggak papa… Nggak tahu juga, setelah kami memberikan makanan ternak, menyiram sayuran, atau mengambil hasil panen, warga memberi kami tepung…”</p> <p>2. “Iya, habis murah kayaknya…”</p> <p>3. “Baca guide dari mana sih?</p> <p>4. “Iya, padahal nggak enak…”</p> <p>5. “Kadang-kadang mereka juga datang siang-siang…”</p> <p>6. “Minta relaxation tea leaves lagi.”</p> <p>7. “Iya, budum.”</p> <p>… Budum?</p> <p>7. “Ah iya, kok aku bisa ngomong budum ya?”</p> <p>“Sebenarnya nggak tahu kenapa aku bisa ada di hutan ini, aku nggak tahu jalan pulang. Boleh aku tinggal disini?”</p> <p>“Asalkan kamu bisa mengurus rumah”, “masak”, “membersihkan tempat tidur”, “cuci baju”, “menjahit”, “menyulam”, “dan membersihkan rumah, kami bisa menerimamu.”</p> <p>“Ah, aku bisa, tenang saja.”</p> <p>“Baiklah kalau begitu.” Kurcaci manapun yang ngomong nggak penting.</p> <p>Esoknya, ketika kurcaci itu pulang dari membantu pertanian warga…</p> <p>Bukan warga sih, tepatnya seseorang yang memakai topi biru dan tas ransel kuning…</p> <p>….</p> <p>Hei, pekerjaan kurcaci itu bertambang tahu!</p> <p>Sudahlah, ketika mereka pulang mereka melihat rumah mereka (masih) berantakan.</p> <p>“Snow White! Mengapa semuanya masih berantakan?”</p> <p>“Hah? Memang dari tadi gitu kok…”</p> <p>“Bukannya kamu harus membereskan rumah?”</p> <p>“Hah? Kenapa harus aku?”</p> <p>“Kan perjanjiannya gitu, kamu harus bersihin rumah untuk tinggal disini…”</p> <p>“Hah? Bukannya kalian bilang asalkan aku bisa mengurus rumah dan lain-lain? Aku bisa kok, tapi kenapa juga aku harus mengerjakannya untuk kalian?”</p> <p>“Eee… Bila kau bilang seperti itu benar juga…”</p> <p>Kemudian kurcaci-kurcaci itu menyesal tidak bisa meralat apa yang telah dituliskan pada cerita ini karena mereka nggak memiliki hak akses administrator.</p> <p>Dari hutan kita beralih ke istana raja. Ratu senang karena kali ini cermin yang dimilikinya berbahasa Indonesia.</p> <p>“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“Terima kasih cermin, kalau yang paling ganteng?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“Kok… Kalau yang paling jelek?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“… Paling idiot?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“Apa maksudnya semua ini?! Ini semua pasti gara-gara Snow White masih hidup dan bersembunyi di hutan! Aku akan membunuhnya sekarang juga!”</p> <p>Kemarahan ratu sangat memuncak, ia pergi ke rumah penyihir dan mencari cara untuk membunuh Snow White.</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>…</p> <p>Ratu mendapatkan cara untuk membunuh Snow White dari penyihir yang ia temui di perempatan dekat pasar. Ia menyamar sebagai pedagang keliling dan menjual kalung ke Snow White.</p> <p>“Wahai gadis yang cantik, maukah kau membeli kalung ini?”</p> <p>“Kalung yang cantik sekali ya mama, eh, pedagang keliling. Aku beli deh.”</p> <p>“Baiklah, akan kukenakan kalung ini ke lehermu.”</p> <p>Ratu memakaikan kalung itu ke Snow White. Karena ingin membunuhnya, Ratu mencekik leher Snow White dengan itu. Snow White pingsan dan Ratu kabur kembali ke istana.</p> <p>Snow White terbangun, “Dasar penjual aneh, masa kalung diikatkan ke tangan sih? Ngikatnya keras lagi, untung nggak di leher, bisa bahaya tuh.”</p> <p>Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci dengan darah mengucur deras dari nadinya.</p> <p>Ratu kemudian bertanya lagi pada cermin.</p> <p>“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“Apa?! Snow White masih hidup!? Kurang ajar! Sekarang pasti akan kubunuh dia!”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek dan menjual sisir beracun ke Snow White.</p> <p>“Wahai gadis yang berambut bagus, mau sisir?”</p> <p>“Boleh juga mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir.”</p> <p>Ratu kemudian menyisir rambut Snow White dengan sisir itu.</p> <p>Sesaat kemudian Snow White pingsan. Ratu kembali ke istana dengan perasaan senang.</p> <p>Snow White terbangun, “Dasar nenek, kok yang disisir rambut yang lain sih (yang mana?). Aku sampai pingsan karena geli.”</p> <p>Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci.</p> <p>Tunggu, pada adegan tadi rambut bagian mana yang disisir?</p> <p>Di istana Ratu bertanya lagi pada cermin, tapi sebelumnya ia haus.</p> <p>“Pelayan, ambilin minum dong!”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“Apa?! Masih belum mati!? Argh! Sekarang pasti!”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>Pelayan datang tapi ratu keburu pergi.</p> <p>“Lho, kemana sang ratu?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek, kali ini jualan apel beracun.</p> <p>“Mau?”</p> <p>“SMS sesama operator masih gratis? SMS ke operator lain 100 rupiah? Eh, bukan ya…”</p> <p>“Duh, jangan iklan dong. Apel nih, mau nggak?”</p> <p>“Mau dong mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel.”</p> <p>Snow White kemudian memakan apel itu. Tidak lama kemudian dia pingsan.</p> <p>“Hahaha, yang ini pasti mujarab. Kembali dulu ah.”</p> <p>Kali ini berbeda, Snow White tidak bangun-bangun.</p> <p>Para kurcaci yang baru pulang kaget, mereka kira Snow White mati dan meletakkannya di peti kaca.</p> <p>Lho, nggak dipastikan dulu? Siapa tahu masih hidup?</p> <p>“Nggak mau ah, dia cuma ngerepotin mas… Kalau masih hidup beneran gimana? Repot kan? Mas sih enak, cuma jadi narator, ngomong doang.”</p> <p>… Duh, aku sih pinginnya jadi cermin yang cuma bisa ngomong “Tentu saja anda, wahai ratu.” itu…</p> <p>Sudah lama Snow White tersimpan di lemari es… Eh bukan ya? Peti kaca ding.</p> <p>Dia tidak terlihat seperti seseorang yang telah meninggal. Dia tetap seputih salju, semerah darah, dan rambutnya sehitam bingkai jendela itu.</p> <p>…</p> <p>Jangan-jangan bingkai di tempat lain…</p> <p>Suatu hari pangeran kerajaan tetangga tiba di hutan tempat kurcaci-kurcaci itu, dia kebingungan juga kok bisa tiba-tiba ada disana.</p> <p>Ia melihat peti kaca Snow White dan tertarik untuk membawanya. Ia membaca tulisan emas di peti itu.</p> <p>“Dijual cepat, 10 ribu bisa nego.”</p> <p>Pangeran itu membeli peti Snow White, dengan nego dulu tentunya. Sebenarnya para kurcaci merasa berat dengan kepergian Snow White itu.</p> <p>“Ya jelas berat, kita disuruh mengangkat peti ini sampai kerajaan. Dasar pangeran pelit.”</p> <p>Tiba-tiba ditengah jalan peti itu terjatuh karena dibuang oleh para kurcaci.</p> <p>… Itu sih bukan terjatuh namanya.</p> <p>“Berat tahu! Kamu kan nggak bayar biaya pengantaran. Udah ah, kami mau pesta teh, musim semi nih!”</p> <p>“Tunggu dulu! Terus bagaimana aku bisa membawanya?”</p> <p>Peti yang jatuh itu terbuka dan Snow White terjatuh. Dari mulutnya keluar potongan apel beracun itu.</p> <p>“Aduh sayang nih!”</p> <p>Snow White memakan kembali apel itu. Kali ini baru racunnya bekerja, tadi sih Snow White bukan pingsan, tapi tidur.</p> <p>“Lho kok pingsan lagi?”</p> <p>Pangeran tersebut menggendong Snow White sampai ke kerajaannya. Sampai di kerajaan, Snow White terbangun.</p> <p>“Terima kasih tumpangannya.”</p> <p>“Lho? Jadi kamu tadi tidak pingsan ya?”</p> <p>“Kenapa aku harus pingsan? Kamu pingin aku pingsan ya?”</p> <p>Kemudian Snow White pingsan. Ratu kerajaan itu tidak sengaja melihatnya.</p> <p>“Anakku! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Kamu telah menghamilinya ya?!”</p> <p>“Apa?! Kalau begitu maafkan aku ibu! Aku akan bertanggung jawab!”</p> <p>Kemudian Snow White dan pangeran itu akan dinikahkan.</p> <p>Di lain tempat, ratu yang lain sedang berbicara pada cermin.</p> <p>“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>“Apa!? Snow White menikah dengan pangeran kerajaan lain?! Kurang ajar, masih hidup saja dia!”</p> <p>Ratu pergi ke kerajaan tetangga dengan amarah yang memuncak.</p> <p>“Tentu saja anda, wahai ratu.”</p> <p>…</p> <p>Sesampainya di kerajaan tetangga, ratu (mama Snow White, tapi bukan manajernya kayak yang di suatu acara TV) melihat pernikahan Snow White dengan pangeran kerajaan itu. Ia mendekati Snow White dan akan mengucapkan mantera kutukan.</p> <p>“Snow White! Ternyata kau ada di sini!”</p> <p>“Pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel, eh, Mama?!”</p> <p>“Snow White… Mama selalu mendoakanmu, nak. Semoga kamu berbahagia dengan pangeran ini.”</p> <p>“Mama… Terima kasih banyak.”</p> <p>“Ratu, maafkan aku yang telah lancang menikahi Snow White. Aku telah menghamilinya…”</p> <p>“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku menunggu cucu pertamaku.”</p> <p>“Mama?! Jadi mama tidak marah?! Mama memang mamaku yang paling baik!”</p> <p>“Terima kasih bibi!”</p> <p>Mereka semua bahagia, termasuk semua warga yang menghadiri pernikahan mereka.</p> <p>Kalau bisa dibuat bahagia, mengapa memilih ending yang harus-ada-yang-mati?</p> Dan tidak jauh dari tempat pernikahan itu… Akhirnya… Aku melihat bingkai jendela yang berwarna hitam itu.<br /><br />Sumber :<a href="http://nafasku.com/cerpen-lucu-humor-segar-snow-white.html"> Nafas.com</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-56244733750514102292009-07-28T01:52:00.000-07:002009-07-28T01:54:21.230-07:00Luna Mau Tidur !Minggu 11 Juni 2006/ 15:00 wib<br />“Emang gimana awalnya, loe ceritain deh dari awal” Dino penasaran dengan cerita Luna yang mulai hari ini harus tereliminasi dan dipensiunkan dari sekolahnya.<br />“Tau gue juga, masak cuma gara-gara tidur doang” sungut Luna.<br />“Lah….masak cuma gara-gara tidur doang ? yang jelas dong”<br />“Gini ceritanya………”Luna mulai bercerita.<br /><br />Skul 9 Juni 2006/ 08:00 wib<br />Gasi tak terlihat seperti dulu, tak seperti waktu pertama kali menatapnya. Ini untuk fisiknya, rambutnya yang seakrang tertata rapi, giginya yang putih dengan gingsul, matanya yang selalu bercahaya, penuh harapan, dan hidungnya yang pesek, masih memperlihatkan wajahnya yang berkelas dan tampan. Darah dusun ibunya masih sangat terasa, sangat terlihat dari matanya yang dari dulu, masih terlihat sedikit besar.<br />Sahabatnya banyak yang kaget dengan perubahan dari style-nya Gasi yang sangat mencolok. Dia bukan lagi Gasi yang dulu, ini bukan Gasi yang dulunya dekil, dan urakan. Sekarang Gasi sudah berubah menjelma menjadi seorang cowok yang. Bukan lagi<br />Setiap berjalan ia coba melenggang berjalan dengan langkah yang berkelas, tak terlalu cepat dan tak juga terlalu pengantin, sorot matanya tajam menatap kedepan, siap membuat semua wanita takluk dengan matanya. Tapi senyum sumringahnya langsung terpancar ketika seorang sahabat lama, menyapanya. Dua tahun di Jepang membuat dia sangat fenomenal.<br />“Aku enggak nyangka, kamu sudah bisa dandan sekarang” Luna tersenyum, menyinggung penampilan Dino sekarang.<br />“Aku juga bingung kenapa bisa ya….aku berubah kayak gini, ternyata bener kata kamu dulu, lingkungan akan merubah kamu, thanks Luna”Dino memeluk Luna, salah satu sahabatnya yang paling setia menunggu kembalinya dari jepang.<br />“Seekor anak musang yang buas, dekil dan kotor, akhirnya melakukan kegiatan manusia, dalam hal membersihkan diri, ternyata bunga sakura juga bisa untuk merubah penampilan………”Suara yang tidak asing untuk Dino, sindirannya yang khas dan selalu berhasil menusuk dengan tajam.<br />“Sapi….., masih make kata-kata sok sastrawan juga loe……pa kabar Gy…?”Dino menyambut teman satu bangkunya waktu di SMP.<br />“Heee….he….fine….sih, tapi gue jadi ngerasa udah mulai ngerasa aura enggak enaknya nih, ketika seekor srigala datang dan mulai bisa mengendus pastilah banyak mangsa gue yang lepas gara-gara srigala ini”bahasa penuh makna, mengalir lepas dari bibir Xegy. Sebenernya sih maksud Xegy dia takut aja kalau cewek-cewek yang selama ini milik dia harus pergi karena ada seekor srigala dari jepang merebutnya.<br />“Makan aja sama loe sendiri….gue enggak level men sama orang indonesia….sueerr”Dino mendongakkan kepalanya keatas berlagak angkuh.<br />“Anjiing…………..loe….”Xegy berlari mengejar Dino yang sudah ngibrit duluan, Luna sendiri ia Cuma bisa menatap kekonyolan dua sahabatnya dengan senyum simpulnya.<br />LUNA…………………..BANGUUUUNN……………BANGUUUNN……..<br />“Ah….ngapain sih….ganggu orang lagi mimpi aja neh…..tanggung neh lagi mimpi enak……”Luna masih belum sadar dengan tingkahnya yang tidur dikelas, dan mengigau, yang membuatnya harus meninggalkan pelajaran pertama, pelajaran fisika.<br />“HUUU….orang cuma tidur doank enggak boleh….”Luna mencibir gurunya, dan melangkah gontai keluar kelas.<br />“Kamu bilang APA……..????”teriak Bu siska…guru duper killer.<br />“Eehhh…ehh…..enggak bu………PIISSS”Luna langsung ngibrit keluar.<br />“Dasar, anak gak tahu diuntung…..sudah disuruh belajar, malah tidur”gerutu Bu Siska kesal.<br />“Dagang kali untung………….”Luna nongol dari jendela, meledek gurunya.<br /><br />LUNAAAA………………………………..<br />***<br /> <br />Tawa….sekelompok cewek kelas XI memenuhi ruang kantin yang cukup luas. Cewek-cewek kelas XII yang merasa dirinya sudah yang paling hebat melirik sinis kearah bangkunya Luna dan teman-temannya duduk sambil mencibirkan bibirnya yang ingin sekali rasanya dibikin dower.<br />“Masih kelas XI aja dah belagu sok ngenantangin guru”Sindir Fara sedikit mengeraskan suaranya.<br />“Masak…. ?”Luna mengindahkan omongan gak berkelas Fara, yang mengaku dirinya Miss Universe sekolah, padahal ngomong inggris aja gak lancara.<br />“Heiii….lagi lengkap nih……”Xegy langsung duduk dan ikut nimbrung dimeja Luna.<br />“Iyaa….jadi lebih karena loe duduk disini”Rika menatap ketus Xegy.<br />“Oopss…okay gue nyingkir”Xegy berdiri dan celingak-celinguk melihat tempat yang kosong.<br />“Yeee….udah duduk aja disini”Luna membela Xegy.<br />“Oh ya…..loe kenapa kok bisa tidur dikelas tadi…?”tanya Xegy sambil masih melirik Rika yang menatapnya sinis.<br />“Apa…loe….mau gue gampar ?”Rika mengangkat tangannya.<br />“Sorry say….piiisss”<br />“Udah napa….”Luna menengahi.<br /> <br />Bel masuk berbunyi…… <br />“Nah….sudah bel tuh..masuk gih….”Luna memerintah teman-temanya.<br />“Loe sendiri ?” tanya Mika, mengerutkan keningnya.<br />“Gak ah……mau ke perpus aja, daa…duluan gue…., eh.jangan lupa kalau sudah pulang samperin gue di perpus ya…”Luna mengarahkan kedua kakinya kearah perpus yang terletak dua gedung dari kantin.<br />Sebenernya agak aneh memang meletakan ruang perpustakaan agak jauh dari kelas-kelas murid. Walaupun alasan sekolah cukup masuk akal, itu dilakukan agar suasana tidak terlalu bising.<br />Luna agak mempercepat langkahnya di koridor kelas XI C, karena Luna tahu disana ada bu siska yang sedang mengajar. So kita cari aman dulu, Luna agak sedikit membungkukkan badannya didepan kelas XI C, Luna membungkuk dan mempercepat langkahnya. Terus….terus….dan terus….lewat juga akhirnya. Luna mengelus dadanya tenang.<br />LUNAAA……………………” jerit Bu Siska, yang mengetahui tindakan Luna yang cabut dari pelajaran.<br />“GAAAKK…… MAUUUUUUUUUU………..” Luna langsung lari ngibrit entah kemana, dalam sekejap ia sudah tidak terlihat dikoridor sekolah menuju perpus.<br />“Kok lari……mau ngasiin buku tugas juga” Bu Siska cuma bisa menatap kosong kekoridor dan buku tugas Luna yang masih ia pegang.<br />Luna terus berlari menelusuri koridor sekolah dengan kecepatan penuh, melewati ruang kepala sekolah, ruang BP, lapangan basket, gedung olahraga dan akhirnya berakhir di kantin dan langsung memesan teh botol dingin.<br />“ini nikmatnya sekolah” ucap Luna masih terengah-engah.<br />Tapi sayang nikmat sekolah yang dia maksud datang lagi, kali ini bukan ibu Siska yang lebih mirip tante-tante kiler yang didepannya. Amiiiiin………….banget memang karena yang didepannya bukan tante itu, tapi………!!! O M G, ini lebih gawat” Luna langsung menaruh botol kenikmatan pelepas dahaganya. Mengangkat kaki kanannya…..dan……..KABUR……………….TIDAK…………………..AMPUN…….Pak DULLOH………..piiiiiiiissssss………………….<br />Luna langsung kembali berlari kocar-kacir, kembali berolahraga siang. Memutar lapangan basket, memutari kembali parkir siswa, bebelok ke parkir guru, melewati pepustakaan yang ingin ia kunjungi tadi dan sekarang tidak. Dan terus berlari tanpa melihat belakang, trus berlari dengan menutup mata, terus berlari menghindar kematian (Walau itu sebenarnya enggak mungkin) dan terus berlari…..terus…..terus……….terus…..semakin jauh…jauh……lurus kedepan…………<br />BRAAK……….aaahh………….<br />“Gila loe ye……..pake mata dong” satu makian yang langsung membuat Luna tersontak. Walaupun matanya tetap terus menatap lantai koridor, mengatur napasnya yang sudah kocar ancur, mengumpulkan kembali tenaganya yang telah hilang bersama derap kakinya yang melaju kencang, dan mengatur kata-katanya untuk dimuntahkan dan memaki kembali bajingan tengik yang telah menghalangi jalannya. Hingga akhirnya Luna harus tertangkap oleh Pak Dulloh guru matematika dengan kumis tebal ala Pak Raden dan tangan kekar ala Ade Rai, dengan mudah menarik kerah baju Luna hingga ia terangkat dari duduknya.<br />“Mampus…belek aja sekalian Pak….” Cowok ngehe’ itu malah memanas-manasi suasana.<br />“Leher kamu yang saya belek” Pak Dulloh bukannya mendengar omongan Cowok brengsek itu, eh….malah memaki balik.<br />“Mang….enak…..” Luna tersenyum sinis.<br />“Bodo…” cowok sialan itu, langsung berbalik dan melangkah pergi.<br />“Awa.loe………gue matiin…entar……” maki Luna sadis.<br />“Kamu yang akan mati duluan” Luna langsung diseret Pak Dulloh keruang BP, dimana itu tempat ia dan komplotannya berkumpul. Komplotan yang semuanya orang berkumis dan berbadan kekar, hee….hee….maklum rata-rata dari mereka kerajingan fitnes.<br />“Yah……….ini lagi, enggak ada yang punya penyakit yang laen apa sekolah kita ini” ledek Pak Sukro, penjahat kelamin yang sukanya dengan daun muda menyindir Luna.<br />“hhhmm……belum tahu aja loe siapa gue….loe berlima yang badanya segede gentong gajah ini juga gue lawan fuck….bacot loe semua bau kalau ngatain gue” geram Luna, yang enggak terima dianggap enteng.<br />Dua jam sudah Luna didalam ruang ngehe’ yang enggak ada sejuk-sejuknya. Kacrutnya didalam dia Cuma disuruh duduk doank tanpa suguhan minum dan makanan yang cukup buat menambal perutnya yang kehabisan tenaga, habis joging melelahkan tadi. Hehee…..hee…joging katanya dasar geblek.<br />Dalam hitungan tiga, dengan modal nekat dan sok berani, Luna berdiri dari duduknya, mengendap-endap…….dan KABUUUURRR……….<br />CIIIITTT……”Luna berhenti dari larinya.<br />“Loh…..kok enggak ada yang ngejar”Luna jadi bingung dan mengendus-endus lantai. “Enggak ada bau bajingan tengik itu”<br />Luna lalu berjalan kembali keruang pengap tai itu, mengintip, celingak-celinguk.<br />“Anjriiitt…..sialan banget, pada tidur….kalau tau dari tadi dah…gue cabutnya” Luna berjalan santai, tapi sampai dikelasnya……..<br />“Ngehe’…….dah pada balik…..?” Luna mengerutu sendiri.<br />Langkah gontainya menelusuri koridor sekolah yang sudah sepi…sepi sekali, cuma Pak Saha dan Ibu Eta, sepasang suami istri penjaga sekolah yang ia temui. Di parkir guru, Luna melihat gerombolan guru yang enggak manusiawi.<br />“Pulang sendirian ?” sebuah kalimat yang dalam dan langsung menusuk hati.<br />“Sialan…..” sungut Luna, langsung mempercepat langkahnya.<br />Dihalte<br />Kejadian hari ini sangat melelahkan buat Luna, sebuah kesialan dibalik hobinya yang sering membangkang dan berlari. Semenjak ia menemukan hobinya tidur dikelas dan melawan guru betisnya kini tjadi terasa dua,tiga,empat sampai sepuluh kali lipat lebih gede.<br />Sampai di Halte, Luna langsung menghempaskan tubuhnya di bangku halte yang keras terbuat dari besi yang mulai berkarat. <br />“Fhuu….letih, capek, lelah….enggak ada yang jual air lagi” keluh Luna memijit-mijit betis kakinya yang sudah membesar.<br />“Haus….?” Seseoran menyodorkan sebotol air mineral yang sangat diharapkan Luna.<br />“Makasih….” Jawab Luna tanpa menoleh sedikitpun ke yang empunya.<br />“Makanya…jadi cewek yang lembut dikit…jangan suka berbuat yang nyeleneh”<br />“Loe belum….balik Xeg….”Luna mengalihkan pembicaraan. Ternyata tanpa perlu melihat siapa orangnya dari suaranya aja Luna sudah tahu kalu itu Xegy.<br />“Dibilangin malah ngalihin pembicaraan, udahlah…gue duluan”Xegy langsung menyetop bus.<br />“Eh….gila….tunggu”Luna langsung mengejar bus-nya.<br />Bus yang penuh sesak, dan bau yang menyengat. Wuiiihh…apalagi kalau bukan dari ketek-ketek para penumpang yang pada enggak pake deodorant…(Haaahhhhaaa…mungkin). Tapi rasa sesak dan bau ketek itu enggak akan pernah bisa menghentikan kegilaan Luna dan Xegy akan angkutan yang ini, coz penuh tantangan dan bisa melatih pernapasan karena kita akan menahan napas dari awal naek sampe turun yang penting murah cuy. BUSWAY…??? NO Way…..gak da tantangannya plus mahal, kan kantong anak sekolah terbatas tapi enggak buat mereka yang tinggal di perumahan elite sama apartemen.<br />“Gila…loe…bisa naek juga” sindir Xegy kena.<br />“Loe kira Luna Prisma, baru kali ini naik bus” Luna langsung loncat keluar.<br />“LUNAAA………”teriak Xegy, walau akhirnya Luna enggak apa-apa.<br />Luna langsung, berlari lagi menuju rumahnya, kayaknya sih lari sudah jadi kegiatan favoritnya setelah kejadian di skeolahnya tadi.<br />Balik lagi ke Xegy, mahluk satu ini enggak langsung balik kerumahnya, tapi dia malah mampir dulu kerumah temennya, cowok….(Haa….cowok ?). tapi entar dulu jangan mentang-mentang dia mau kerumah cowok bukan berarti dia homo……..xegy mau kerumah temen lamanya.<br />“Misiiiiiiiii………”teriak Xegy, setelah sampai dan berada tepat didepan pagar, rumah temennya.<br />“Yaa..ya…bentar”suara sautan dari dalam rumah, terdengar jelas dan cukup cempreng.<br />“Dino mana Bi ?”<br />“Ada dikamar langsung masuk aja”<br />“Ya ialah…emang siapa yang mau diem disini, panas tahu” Xegy malah ngeledek Bi Sarah dan langsung ngibrit masuk, takut Bi Sarah nyerang balik ( Dalam kasus ini, kenapa disetiap sebuah tulisan sinetron, novel dan film selalu saja nama pembantu suatu keluarga itu jelek dan agak kampungan, so’ kita rubah neehh, coz enggak semua pembantu namanya jelek).<br />“Huu…dasar anak muda jaman sekarang endak tahu sopan santun, wes geblek kabeh” gerutu Bi Sarah sendirian.<br />“Makanya saya sekolah biar enggak geblek……”Xegy yang mendengar gerutuan Bi Sarah langsung menyahut.<br />Dino ? dalam mimpi Luna kita pernah membahasnya. Yup …Dino adalah sahabat dekat dari Xegy dan Luna dari SMP, Dino memang benar-benar berubah dalam hal penampilannya sekarang, bodo amat style kayaknya sudah dia buang jauh-jauh. Penampilannya sekarang jepang banget, paduan baju dengan warna-warna terang dan matanya yang sedikit sipit hampir membuatnya sangat mirip dengan orang jepang, itupun akan berhasil kalau saja kulitnya sedikit lebih putih, tidak kuning langsat seperti sekarang.<br />“Luna mana ?”tanya Dino setelah Xegy berada didalam kamarnya.<br />“Tahu dia tadi langsung balik, padahal udah gue panggil udah gue tungguin, eh malah tadi langsung loncat aja dari bus”jelas Xegy rinci banget.<br />“Wuiihh…tambah gila aja tuh anak, masi tukang tidur gak tuh bocah ?” Dino, sepertinya kangen dengan kebodohon dan kegilaan Luna.<br />“Halah…gak usah komentarin dia, sekarang yang penting mana oleh-oleh gue ?”Xegy langsung menuju sebuah bungkusan besar yang ada didekat lemari Dino. Tangan geratakan Xegy langsung membongkar isi bungkusan itu, tapi tak ada apa-apa yang ia temukan Cuma puluhan pakaian kotor, mungkin bekas Dino waktu dijepang, hueekks…baunya, Xegy langsung memasukkan lagi baju super bau itu.<br />“Makanya tangan tuh jangan geratakan” Dino ketawa sendiri melihat Xegy menahan bau dari baju yang sudah ia pendam selama berminggu-minggu.<br />“Tai…lu”<br />***<br />Skul 10 Juni 2006/ 08:30<br /><br />Mendung menyelimut, langit mulai hitam pekat tapi hujan tetap saja belum kunjung datang. Melati di taman sekolah sudah tetunduk layu menanti hujan. Luna….., dimana Luna sekarang ? bingung, semua orang dikelasnya sibuk mencari satu buah sontoloyo yang hilang ini, tasnya sih ada…..tapi entah orangnya kemana, dari awal pelajaran tadi sampe sekarang sudah istirahat kedua penjahat kelas kakap itu belum juga ditemukan batang hidungnya.<br />Karena ini sebuah rahasia, tak ada satupun dari siswa kelas Luna yang melapor ke guru. Karena hampir semua teman Luna tahu, kalau kasus ini dilaporkan habislah riwayat Luna, semua kisah dan kasih kejahatan dan kebadungannya akan berakhir.<br />“Wooii…emang enggak ada yang ngeliat Luna kemana apa ?”Xegy yang bukan penghuni kelas Luna, langsung masuk dan uring-uringan dikelas orang.<br />“HUuuuu………….” Hampir seisi kelas menyoraki Xegy.<br />“Pada kampret lu ye…..gue tanya baek-baek” Xegy langsung ngibrit pergi setelah ia memaki sesaat penghuni kelas, karena ia tahu beberapa detik ia terlambat kabur, bisa hancur mukanya. Dikejahuan Xegy sedikit mendengar maki-makian para setan remaja kelasnya Luna.<br />“Amin….Amin, untuk gue keburu pergi” Xegy bersyukur dengan tindakan cepatnya.<br />Tapi kemana Luna sekarang ? gila juga, manusia yang enggak bisa diem kayak dia bisa ngilang, letak gilanya sampe satu sekolah enggak ada yang tahu, biasanya sih tanya sama satu orang anak juga pasti ada yang melihat jejaknya. Tapi, sekarang kemana bocah tengik itu.<br />“Kalau aja sekolah ini ada anjing pelacak, pasti sudah ditemukan monyet sialan itu” sungut Xegy kesal.<br />Bel pertanda kalau sekolah telah selesai, telah berbunyi, tapi Luna masih saja belum ada yang menemukannya. Sebagian dari temannya yang sudah putus asa, memutuskan untuk pulang, karena mereka capek dengan tingkah Luna yang gak jelas kayak gini. Tapi sebagian lagi masih ada yang tetap mencari disemua tempat yan paling mungkin untuk dilakukan untuk tidur. Kenapa tempat untuk tidur ? coz, ini dari pengalaman, Luna biasanya kalau ngilang kayak gini pasti dia pergi buat cari tempat untuk tidur, apa lagi kalau bukan untuk itu.<br />Karena ini sudah sangat gawat, akhirnya Bingo, sang ketua kelas Luna, melaporkan semua ini ke guru dan wali kelas. Pencarian pun semakin gencar, hampir semua penghuni sekolah dan instansi terkait ( apa seehh…GJ ) ikut membantu, enggak ketinggalan Pak Saha dan Bu Eta turut membantu mencari. Kayaknya memang sudah benar-benar gawat.<br />Suhu udara semakin panas, sudah beberapa botol air mineral telah diminum oleh Cika teman sebangku Luna, yang masih tetap betah mencari jejak Luna. Rasa penasaran dan kesal yang sudah sampai diatas normal, yang membuat Cika tetap melakukan penelusuran jejak hantu cilik itu.<br />“Loe ngapain sih, lagi dapet ya ?” selidik Xegy, sambil menyipitkan sedikit matanya, ia melihat dari tadi Cika merapatkan kakinya dan terus memegangi pinggangnya.<br />“Kurang ajar loe, belum awal bulan tahu, gue kan dapetnya tiap awal bulan” Cika menyangkal tuduhan Xegy.<br />“Oohhh….jadi tiap awal bulan toh dapetnya, terus itu ngapain ?”<br />“Aku mau pipis……..nih” ucap Cika sok dibikin manja.<br />“Dasar idiot, ya ketoilet sana, ngapain loe tahan-tahan kena kanker rahim tar loh” ucap Xegy, menakut-nakuti Cika.<br />“Waaaahhh….gitu ya, yo wes gue ketoilet dulu ya…..”Cika langsung berlari kecil menuju toilet sekolah, enggak kebanyakan toilet sekolah lain, yang bau dan kotor. Justru ditoilet sekolah ini semua terlihat bersih dan nyaman, wangi lavender selalu tercium dari gantungan pewangi ruangan toilet ini, dan ini juga berlaku untuk toilet cowok.<br /> AAARRGGGGGHHHHHHHH……………………..XEGGGGYYY………….<br />Terdengar teriakan Cika dari dalam toilet, yang membuat semua team ekspedisi pencarian jejak Luna berhamburan menuju toilet.<br />“Haahhaaa….mampus loe kepeleset pasti” Xegy, tertawa dalam hati. Ia lalu berjalan santai menuju toilet.<br />Sampai didalam toilet sepertinya perkiraan Xegy benar, banyak kru team ekspedisi pencarian jejak Luna yang ketawa ngakak, tapi, anehnya kok Pak Memet wali kelas Luna malah melotot, sampai semua retina, air matanya mau keluar. Begegas Xegy menerobos kerumunan kru-kru.<br />“Anjriiiiitttt………” ucap Xegy terperangah kaget. Didalam toilet diatas closet duduk, terlihat Luna sedang tidur dengan pulasnya, parahnya kayaknya ini semua sudah terencana, karena dibelakang kepalanya ada sebuah bantal tidur. Bener-bener edan.<br />“Cepet…bangunin” Pak Memet, mendorong Xegy kedalam toilet. Sebelumnya Xegy menyuruh semua orang untuk menyingkir dan keluar dari dalam toilet, lalu Xegy meneluarkan Super TOA dari tasnya, menarik napas dalam-dalam dan…….<br />LUUUUUUUNNNNAAAAAAAAAA………………….<br />BAAAAANGUUUUUUUUUUNNN………………<br />Semua urat Xegy keluar, kuping berdengung, dan jantung ikut berdetak kencang.<br />“WHhoooaaaaa……dah balik sekolah cuy” Luna membuka matanya.<br />“Anjriit…loe, hati-hati aja loe diluar ada Pak Memet, kayaknya riwayat loe berakhir hari ini” Xegy berlalu keluar toilet, diluar terlihat semua kru Team Ekspedisi Pencarian Jejak Luna dan enggak ketinggalan Pak Memet, meniup-niup kuping mereka. Xegy Cuma tertawa geli melihatnya dan berlalu untuk pulang, sambil mencopot pengedap suara dari kupingnya.<br />***<br />“Gitu….tuh ceritanya” Luna menyudahi ceritanya.<br />“Loe aja yang kebangetan, gila loe enggak ilang-ilang tahu gak” Dino, tertawa geli, dan iapun meninggalkan Luna sendirian dikamarnya, sambil merutuk Dino karena menertawakannya.<br />“Tapikan sekarnag lagi Piala Dunia jadi wajar dong, gue ngatuk berat” Luna masih mau menang sendiri.<br />“Yaa….tetep aja loe kebangetan” sahut Dino dari ujung pintu kamar.<br /><br />selesai<br /><br /><br />Sumber : <a href="http://www.goodreads.com/story/show/1782.CERPEN_sebuaH_kisah_pendek_REMAJA">GoodReads</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-30942773537430691342009-07-28T01:51:00.000-07:002009-07-28T01:52:29.487-07:00Sajadah Oh Sajadah..<p>Sajadah. Barang yang hanya berupa lembaran kain dengan berbagai motif dan bahan itu begitu menyita pikiran Husna. Terutama ketika hendak pergi tarawih. Bagi kebanyakan orang sajadah adalah sebuah kemestian ketika hendak melakukan sholat. Entahlah, rasanya kurang lengkap kalau sholat, apalagi di masjid tanpa menggunakan sajadah. Padahal sebagian masjid telah menyeddiakan karpet yang bagus dan mahal. Tapi tetap saja sajadah seolah menjadi kebutuhan tersendiri. Entah sekedar trend atau apalah.<br />Husna tidak menyalahkan. Memang sajadah adakalanya sangat membantu Husna ketika sholat maupun saat setrika karena bisa dijadikan alas. Tetapi kali ini Husna memang harus berpikir puluhan kali ketika akan menyertakan sajadah untuk tarawih di masjid dekat tempat kosnya. Kebiasaan barunya ini cukup menjengkelkan teman kosnya. Ke masjid selalu terlambat. Tepatnya seminggu setelah Ramadhan lewat.<br /><span id="more-26"></span><br />“Husnaa.aa! Cepetan, ntar telat lagi, lho.” Teriak Nina dari luar kamar. Tak ada jawaban.<br />Klek! Pintu kamar terbuka dan wajah bulat Nina menyembul dengan balutan mukena dari balik pintu.<br />“Lagi ngapain, sih. Cepet! Ntar nggak dapat tempat lagi baru tahu rasa.” Husna menoleh sekilas. Pandangannya kembali tertuju pada sajadah biru yang terlipat rapi di tepi dipan. Membawanya berarti menyertakan beban berat berton-ton ke masjid. Tapi kalaupun ditinggal bukan berarti masalah akan selesai.</p> <p>“Bawa…enggak…bawa…..enggak…bawa…” Husna menghitung kancing bajunya dengan serius.<br />“Kamu tuh mau tarawih apa enggak, sih? Ato mau berangkat sendiri?”<br />“Sebentar, dong.Lagi pusing, nih. Cerewet amat.”<br />“Pusing kok dipiara. Sampai kapan kamu akan diperbudak oleh sajadah itu?” Potong Nina tandas.<br />“Enak aja. Masa aku budaknya sajadah.” Tangan Husna langsung menyematkan mukena ke kepalanya.<br />‘Terus apa namanya? Kalau tiap hari selalu pusing dan jutek gara-gara sajadah. Aku bener-bener nggak ngerti dengan sikapmu yang aneh itu. Padahal kalau di rumah kamu nggak pernah mempermasalahkan sajadah. Giliran kemasjid bikin rebut serumah.”</p> <p>Husna ragu-ragu menyentuh sajadahnya. Saat jemarinya hampir menyentuh bahan beludru itu, buru-buru ia menariknya. Nina berdecak sebal.<br />“Ya Allah, Husna. Kalau mau bawa ya bawa. Kalau enggak, ya enggak. Pusing amat!” Husna hanya membisu. “Udahlah aku berangkat duluan aja. Daripada menyaksikan orang yang sajadahphobinya kumat.”<br />“Kalau kamu berangkat duluan, aku akan tarawih sendiri aja di rumah.”</p> <p>“Eh, masa gara-gara sajadah sampai nggak ke masjid. Ingat setelah tarawih nanti ada pertemuan Remas untuk membahas rencana rihlah adek-adek TPA.” Nina memperhatikan tetangga kamarnya dengan seksama. Wajah Husna benar-benar tampak bingung. Dengan sabar yang dipaksakan, akhirnya Nina menjajarinya di dipan. Ia tak lagi peduli dengan jarum jam yang terus bergerak kearah angka tujuh.</p> <p>“Sebenarnya ada sih?” Husna menatap mata Nina sesaat. Kepalanya lurus lagi.<br />“Aku, malu.”<br />“Malu? Malu dengan siapa? Dan kenapa? Tumben kamu yang biasanya cuek bisa malu. Lebih sering kamu itu bersikap yang malu-maluin.”<br />“Aku serius, Nin!”</p> <p>“Oke, oke. Tapi kenapa?”<br />“Yang pasti aku malu gara-gara sajadah itu.”<br />“Kamu nggak pede karena modelnya?” Husna menggeleng cepat.<br />“Modelnya kan sama kaya punyamu.”<br />“Atau baunya nggak enak karena lama nggak dicuci?” Nina bertanya tanpa ekspresi.<br />“Nih, cium. Wangi, kan?”</p> <p>“Trus?” Husna mematung. Ia menimbang-nimbang. Ia yakin kalau Nina tahu pasti rekasinya menyebalkan. Dan Husna akan menjadi gossip nasional di tempat kosnya.<br />“Jangan-jangan itu sajadah curian dan ketahuan oleh pemiliknya.” Sontak Husna menoleh.<br />“Enak aja! Emang aku keturunan maling.” Mata Husna melotot galak.<br />“Atau jangan-jangan uang yang kamu pakai untuk membeli adalah hasil korupsi.” Mimik Nina dibuat seolah-olah serius.</p> <p>“Heh, mikir dong kalau ngomong. Mana ada orang korupsi buat beli sajadah? Emangnya Allah bisa disuap dengan sajadah? Yang ada, korupsi buat beli rumah, mobil mewah dan jalan-jalan keluar negeri.”<br />“Yaa, kali aja ini lain.”<br />“Sudahlah, lama-lama kamu ngaco ngomongnya. Memang sebaiknya aku tarawih di rumah aja.”<br />“Eh, ingat tujuan kita. Kemarin kita bersepakat bahwa akan tarawih di masjid. Bukan hanya itu, kita pun tidak boleh mengambil tempat di shaf yang sama. Agar kita bisa membaur dengan remaja dan ibu-ibu yang lain. Katanya ingin membuat forum kajian untuk remaja dan ibu-ibu. Belum-belum sudah mutung. Kapan berhasil dakwah kita kalau seperti ini?”</p> <p>Husna tersenyum dalam hati melihat Nina berkata sebijak itu. Dalam hati ia senang punya teman yang ceria dan baik seperti Nina. Meskipun sering iseng dan jail.<br />“Katanya kita ini sodara. Kalau ada masalah kan harus dipecahkan bersama. Apalagi kalu ternyata masalahnya bisa menghambat tujuan mulia kita.”<br />“Baiklah, tapi kamu harus berjanji satu hal.”<br />“Oke.”<br />“Kamu harus serius.” Nina mengangguk mantap.</p> <p>* * * * * *<br />Awalnya Husna begitu senang membawa sajadah birunya ke masjid untuk sholat tarawih. Itu memang sajadah kesayangannya karena ia membeli dari hasil tabungannya saat SMU. Ia pun berharap sajadahnya bisa membawa berkah di awal bulan suci ini. Siapa tahu ada orang yang juga membutuhkan alas sholat. Kalau hal itu terjadi peluang mendapat pahala semakin banyak. Dan ternyata impiannya tidak percuma.</p> <p>“Terimaksih, Dek. Tadi saya buru-buru ke masjid. Jadi lupa nggak bawa sajadah.” Seorang ibu setengah baya tersenyum ramah ketika membagi sajadah dengannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat sholat mulai tampaklah sebuah permasalahan yang bagi Husna tidak bisa diremehkan. Shof sholat tidak rapat. Padahal Umar bin Khottob pernah merapikan shof dengan pedangnya karena begitu pentingnya shof yang rapat dan lurus agar tidak ada celah bagi syetan untuk engganggu selama solat.</p> <p>Husna meyakini bahwa penyebab utama dari fenomena yang ada di depannya bisa jadi karena mereka tidak tahu betapa pentingnya shaf sholat yang rapat dan rapi. Dan kondisi itu diperparah dengan sajadah. Para jamaah sholat lebih memilih posisi di tengah sajadah masing-masing. Mereka tidak peduli sisa tempat yang akibat sajadah yangyang mereka bawa. Bahkan ada beberapa orang yang tanpa beban meletakkan sajadahnya sehasta di sebelah sajadah lainnya. Padahal kalau mau, tempat itu masih bisa diisi satu orang lagi. Tapi entahlah, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan jika kesalahan dilakukan bersama maka statusnya kan berubah menjadi benar.</p> <p>Sebenarnya sang imam selalu mengingatkan agar merapatkan dan meluruskan shaf sebelum sholat. Api seruan imam itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Buktinya setiap hari kondisinya selalu sama. Dan Husna bertekad akan berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang ada. Baginya ini adalah peluang amal yang harus dimanfaatkan.</p> <p>* * * * * *<br />Husna membalas tatapan sinis seorang ibu muda denngan senyum termanisnya. Ibu muda itu kelihatan dari orang yang cukup berada. Mukenanya jelas tergolong mahal, tapi sayang wajahnya tidak ramah. Kalau saja ia mau tersenyum sedikit saja, pasti kelihatan cantik. Mersa senyumnya tak berbalas, Husna mersa jengah juga dipandangi seperti itu.</p> <p>“Ehm…, maaf, tante. Apa ada yang salah dengan saya?” Husna bertanya dengan hati-hati. Suaranya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu yang lain.<br />“Lho, nggak nyadar juga. Tampangnya, sih mahasiswa. Ternyata nggak tahu sopan santun.! Jawabnya pedas. Meskipun suara si Tante pelan tapi cukup membuat wajah-wajah di sekitarnya menoleh kearah mereka.</p> <p>“Kenapa Anda nempel-nempel dekat saya? Seenaknya saja menumpuki sajadah saya dengan sajadah murahan! Ini sajadah mahal, saya beli di Arab waktu haji. Harganya mahal tau. Emang kalau lecek mau ngganti?” Muka Husna seperti disiram lahar gunung merapi yang baru meletus. Wajahnya memerah seperti tomat yang masak. Telinganya memanas, begitu pula matanya. Matanya segera terpaku pada sajadah biru yang menutupi sebagian sajadah si Tante. Dia melakukan semua itu karena ingin shaf shalat menjadi rapat. Apalagi posisinya yang ada di ujung paling kiri barisan membuatnya harus mendekat ke arah kanan. Tapi Husna benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.</p> <p>Dengan cepat si Tante berdiri dan menyambar sajadah mahalnya. Ia bergegas ke barisan belakang meninggalkan Husna dalam sorotan mata dengan berjuta ekspresi. Ada ekspresi simpati karena kasihan, ekspresi gemes dan gregetan, ekspresi geli karena menahan tawa sampai yang cuek seolah tak terjadi apa-apa. Husna tidak lagi peduli dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya. Yang ia rasakan cuma satu : malu.</p> <p>* * * * *<br />Husna mulai berhati-hati bersikap karena tak semua niat baik berbuntut manis. Kali lain ia duduk di sebelah seorang gadis sebayanya. Sajadah gadis itu cukup lebar hampir separo sajadahnya. Setelah meminta ijin, Husna meletakan sajadahnya di bawah sajadah merah si Gadis. Husna menjelaskan alas an sikapnya pada si Gadis. Sambutan si gadis sangat baik terutama ketika Husna emnjelaskan tentang pentingnya shaf sholat yang rapid dan rapat. Tapi sambutan hangat itu segera lenyap ketika seorang nenek menghampiri mereka.</p> <p>“Neng, kenapa sajdah saya dipake? Nenek itu baru belajar sholat dan harus pake sajadah biar nggak kedinginan. Masa baru ditinggal wudhu sebentar sajadah sudah lenyap. Di bulan suci begini kok ya masih sempat ngembat barang orang.”<br />Husna berusaha tersenyum dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.</p> <p>“Maaf, Nek saya dari tadi di sini. Dan ini sajadah saya. Mungkin Nenek lupa menaruh sajadah nenek. “ Husna menjaga kalimatnya dengan hati-hati. Gadis di sebelahnya meliriknya curiga.<br />“Kalau itu memang sajadah Neng, kenapa mesti disembunyikan di bawah sajadahnya?” tangan si Nenek menunjuk sajadahnya yang tertutup oleh sajadah si Gadis. Tiba-tiba si Gadis berdiri.<br />“Maaf, Mbak. Saya nggak mau sajadah saya dijadikan tempat menyembunyikan barang curian.” Husna ingin menjelaskan lebih jauh tapi si Gadis terlanjur pergi.</p> <p>* * * * *<br />Tawa Nina hampir meledak. Ia tutup mulutnya agar tidak bersuara karena teringat pesan Husna. Setelah berhasil menguasai diri ia mulai bersuara .<br />“Kok nasibmu sial banget. Trus, si Nenek gimana?”<br />“Pas si Gadis pergi si Nenek baru sadar bahwa sajadahku memang berbeda, hanya mirip saja. Dia baru ingat bahwa sajadahnya dititipkan ke cucunya.”</p> <p>“Ya udah mending nggak usah bawa saja.”<br />“Sudah kucoba kemarin.”<br />“Trus hasilnya?”<br />“Aku harus mencuci mukenaku kemarin.”<br />“Apa hubungannya?”<br />“Kemarin aku kan telat, terpaksa sholat di teras yang basah karena hujan. Dan tidak ada seorang pun yang membagi sajadahnya untukku.” Nina mendengus prihatin sekaligus salut dengan upaya keras Husna untuk mengubah budaya shaf yang tidak rapat.</p> <p>“Ya, sudah. Kesepakatan untuk berpencar selama tarawih kita cabut saja dulu. Untuk shaf yang rapat sepertinya kita harus memberi contoh.”<br />“Maksudnya?”<br />“Kita sholat besebalahan saja. Biar orang-orang melihat kelurusan dan kerapian shaf kita. Sekalian kita mencoba memahamkan tentang pentingnya shaf yang rapat dan lurus.”</p> <p>“Sepertinya itu ide yang bagus. Tapi sekarang aku bawa sajadah nggak?”<br />“Aduu…uh! Sajadah lagi, sajadah lagi. Nggak usah bawa aja dulu. Ntar bermasalah lagi.”<br />Berdua, mereka segera bergegas ke Masjid As Syuhada.. Sampai di masjid, suasana begitu lengang. Sholat isya telah dimulai. Mereka segera mencari tempat. Tapi sayang, tidak ada tempat yang bisa dipakai dua orang sekaligus.<br />“Sudah, kamu di sini aja. Aku akan mencari tempat lain. Ntar keburu habis sholat isya’nya. Sepertinya ini raka’at terakhir.”<br />“Tapi kamu kan, nggak bawa sajadah.”</p> <p>“Nggak apa-apa. Hari ini kan, tidak hujan jadi lantainya nggak basah.” Setelah bersusah payah alhirnya Husna menemukan tempat yang berada di sela-sela shaf. Sekilas Husna melirik ke kir, dan dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang di sebelahnya adalah nenek yang menudunhnya mencuri beberapa hari lalu. Sebenarnya Husna ingin mencari tempat lain. Tapi selain susah, juga akn menyita banyak waktu. Husna hampir saja melakukan takbiratul ikrom ketika si Nenek menoleh dan tersenyum ke arahnya. Belum hlang rasa kagetnya, si Nenek malah membungkuk dan mengambil sajadahnya. Si Nenek berbagi sajadah dengannya. Reflek Husna menolak.</p> <p>“Lho, Nek nggak usah.” Spontan Husna bicara pada Nenek yang seharusnya masih sholat.<br />“Nggak apa-apa. Maaf ya, kejadian kemarin.” Dengan santai si Nenek melanjutkan sholatnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tinggal Husna yang kebingungan dengan semua yang terjadi.<br />Ah, kalau saja aku tadi membawa sajadah pasti pasti Nenek tidak perlu berubuat begitu. Pe-er shaf belum selesai sudah ditambah pe-er Nenek yang harus diajari tentang tata cara sholat yang benar. Semoga ini adalah lading amal baru yang bisa menjadi pendulang pahala.</p> <p>Saat tarawih di Masjid As Syuhada BTN Mastrip Jember</p><p><br /></p><p>Sumber : <a href="http://istanacerpen.co.cc/cerpen-remaja/cerpen-remaja-sajadah-oh-sajadah#more-26">Istana Cerpen</a><br /></p>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-20843408989592893382009-07-28T01:48:00.000-07:002009-07-28T01:49:56.672-07:00Ramuan ajaib<p><a tip="" href="http://istanacerpen.co.cc/wp-content/uploads/2008/07/ramuan.jpg"><img class="alignleft size-medium wp-image-14" title="ramuan_ajaib" src="http://istanacerpen.co.cc/wp-content/uploads/2008/07/ramuan-300x225.jpg" alt="Ramuan Ajaib" width="177" height="132" /></a></p> <p><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span class="fullpost"><span style="font-family: trebuchet ms;">Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.</span></span></span></span></p> <p>Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.<br />“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”<br />Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.<span id="more-10"></span><br /><span style="font-size: 100%;"><span style="font-family: georgia;"><span class="fullpost"><span style="font-family: trebuchet ms;"> “Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.<br />“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”<br />“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”<br />“Kok bisa begitu?”<br />“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”<br />“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.<br />“Resep agar sukses ujian.”<br />“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”<br />“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.<br />“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.<br />“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.<br />“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.<br />“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.</span></span></span></span></p> <p>Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.</p> <p>“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.</p> <p>Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.<br />“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.</p> <p>“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.<br />“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.<br />Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.<br />“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”<br />“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”<br />Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.<br />“Yogi hanya kesedak, Bu.”</p> <p>“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.<br />“Benar kamu tidak apa-apa?”<br />Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.</p> <p>“Kakek, di mana?”<br />“Ada di kamarnya. Kenapa?”<br />“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.<br />Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.</p> <p>Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.<br />“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.<br />“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.</p> <p>“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.</p> <p>* * * *<br />Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.<br />Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.</p> <p>Yogi membuka matanya dengan berat.<br />“Kamu sakit, Nak?”<br />“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”<br />“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”<br />“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”<br />“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”<br />Yogi hanya bisa pasrah.<br />“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.<br />“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.</p> <p>“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.</p> <p>“Yogi minum, kopi?”<br />Kepala Yogi menggeleng.<br />Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.<br />“Kamu membuat rauan ini?”<br />Yogi mengangguk pelan.<br />“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.<br />Dengan wajah murung Yogi menjawab.<br />“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”</p> <p>“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”<br />“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”<br />“Ya. Kakek langsung sakit.”<br />“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”<br />“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”</p> <p>“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”<br />“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”<br />Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.</p> <p>“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”<br />“Tentu saja.”<br />“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”<br />“Baiklah. Aku akan mencobanya.”<br />“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”<br />Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan<span style="font-family: trebuchet ms;"> ajaib</span>.</p><p><br /></p><p>Sumber : <a href="http://istanacerpen.co.cc/cerpen-anak/cerpen-anak-ramuan-ajaib#more-10">Istana Cerpen</a><br /></p>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-69624580625846856712009-07-28T01:46:00.002-07:002009-07-28T01:48:50.865-07:00hadiah Kejujuran<p><span><span class="fullpost"><span style="font-family: trebuchet ms;">Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat yang baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus matematika. Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat melekat di otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus hafalannya.</span></span></span></p> <p>Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar juara pertamanya direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi ayahnya sudah berjanji akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil merebut kembali juara pertama.<br /><span id="more-12"></span><br /><span><span class="fullpost"><span style="font-family: trebuchet ms;">“Luas kerucut adalah…, adalah… aahhh…! Lupa lagi!” Keluhnya kesal. Matanya kembali melihat buku diktatnya. Memandangnya dengan alis bertaut, bibir terkatup. Menutupnya lagi. Menghafal lagi. Dan… lupa lagi! Matanya hampir tertutup karena kantuk. Tapi Firman belum menyerah. Ia paksa matanya tetap terjaga. Seteguk susu diharapkan mampu menahan kantuk yang sering menyerang tiba-tiba.</span></span></span></p> <p>Ia buka lembar yang lain. Matanya kembali memejam.<br />“Luas kubus adalah 6 X sisi X sisi. Luas tabung …, luas tabung …, tuh, kan. Lupa lagi!” Dengusnya sedikit keras. Tangan kanannya dengan malas membuka-buka lagi bukunya. Betapa terkejutnya saat Firman sadar kalau banyak sekali rumus yang belum dihafalnya. Sementara detik demi detik terus berlalu dan hampir menunjuk jam sebelas malam.</p> <p>“Tak ada cara lain.” Desisnya hampir tak terdengar.<br />Tangannya segera menyobek kertas. Kemudian dengan cepat ia menyalin rumus-rumus yang belum dihafalnya. Dengan tulisan yang acak-acakan, akhirnya Firman pun selesai. Segera ia menuju kasur empuknya. Kertas yang berisi rumus pun di bawanya. Hatinya gelisah. Bagaimana kalau besok Bu Guru tahu saat aku nyontek? Tanyanya dalam hati. Tapi kalau nggak nyontek, pasti aku tidak bisa. Tapi kalau nyontek, berarti aku curang. Tapi kalau tidak nyontek aku tidak jadi punya sepeda baru. Tapi…. tapi… Sebelum sempat melanjutkan kegelisahannya, Firman tertidur.</p> <p>* * *<br />“Firman.” Suara itu mengagetkan Firman. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat.<br />“Serahkan kertas itu!” Pinta Bu Guru tegas. Tangannya yang masih gemetar memberikan sesobek kertas yang berisi salinan rumus matematika.</p> <p>“Karena menyontek, semua nilaimu akan dikurangi.” Kata Bu Guru sambil mengambil lembar jawabnnya. Wajahnya menunduk. Lemas. Malu. Semua teman-temannya melihat ke arahnya.<br />“Huu… ternyata Firman pinter karena nyontek! Pantes jadi juara.”<br />“Firman, curang!”<br />“Firman pembohong!”<br />“Juara nyontek!”<br />“Huu…!”<br />Suara teman-temannya mencibir, mengolok dan mencemooh. Firman tidak tahan lagi. Ia pun berdiri.<br />“Aku tidak pernah menyontek! Tidak pernah!” Teriaknya keras-keras.</p> <p>“Firman. Firman. Ayo bangun. Sholat subuh dulu.” Suara Ibu terdengar. Pipinya ditepuk berkali-kali.<br />“Kamu kenapa? Mimpi buruk ya?” Firman tergagap. Tubuhnya masih berkeringat. Mimpinya benar-benar seperti nyata.<br />“Ayo, Ayah sudah menunggu untuk sholat.”<br />“Iya, Bu.” Dengan perasaan yang masih takut Firman pergi meninggalkan kamarnya. Setelah berwudhu, ia bergabung dengan ayah dan ibunya untuk sholat.</p> <p>Setelah sholat, Firman merenungi mimpinya. Ia pandangi kertasnya.<br />“Aku tidak boleh melakukannya.” Tekadnya dalam hati. Firman pun melanjutkan belajarnya. Ia tetap berusaha menghafalkan rumus-rumus matmatika. Ia tidak lagi berpikir untuk menyontek. Ia terus komat-kamit dengan mata terpejam. Sesekali matanya membuka untuk memstikan bahwa yang hafalannya benar. Kemudian memejam lagi. Komat-kamit lagi. Sampai ibunya masuk dan mengingatkannya untuk segera mandi dan bersiap-siap sekolah.</p> <p>“Ayo, Firman. Nanti telat. Ayah sudah mandi, lho.”<br />Firman bergegas mandi dan bersiap-siap. Dengan sedikit tergesa ia memakai seragamnya. Memakai sepatunya. Menyambar tasnya. Dan berlari menuju halaman di mana ayah telah siap menunggu. Tak lupa ia meremas-remas dan membuang contekannya ke tempat sampah di halaman. Setelah mencium tangan ibunya, ia masuk ke dalam mobil ayah.<br />“Bu, berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Teriaknya sambil berlalu.</p> <p>* * *<br />Dua minggu berlalu. Hari ini adalah pembagian rapot. Ayahnya yang mengambil, sedang firman menunggu di rumah dengan persaan was-was. Ia murung. Sejak ayahnya berangkat sampai sekarang Firman belum ingin makan. Ia yakin akan gagal merebut juara pertama lagi. Tapi Firman pasrah. Toh memang Firman memang sering sakit sehingga tidak masuk sekolah. Di lihatnya jam dinding dengan gelisah.Entah mengapa ia merasa jarum jam itu jadi lambat jalannya. Dengan malas, ia pun melanjutkan membaca buku ceritanya.</p> <p>“Assalamu’alaikum,” Suara ayah terdengar dari depan bersama mobilnya.<br />“Wa’alikum salam.” Firman melonjak, menaruh buku ceritanya dan berlari ke halaman.<br />Ayah berjalan sambil membawa rapot di tangan kanan. Jantung Firman semakin deg-degan. Ia remas-remas tangannya.</p> <p>“Bagaimana, Ayah?” Tanya Firman cemas.<br />Ayah diam. Firman semakin yakin, kalau ayah marah. Ia pun menunduk, tak berrani menatap wajah ayahnya.</p> <p>“Sini, Firman. Lihat rapotmu.” ajaak ayah yang telah duduk di teras. Firman mendekat, dan duduk di sebelahnya. Matanya melihat halaman yang ditunjukkan ayah. Ia menelan ludah saat mengetahui kalau ia hanya mendapat peringkat dua.<br />“Kamu kecewa?” Tanya ayah.<br />“Iya, Yah.”<br />“Kenapa?”<br />“Karena aku hanya peringkat dua.”<br />“Tapi Ayah tidak kecewa. Ayah bangga.”<br />Firman kaget. Ia tak mengerti kenapa Ayah bisa bangga padanya. Padahal ia gagal merebut juara pertama.</p> <p>“Kamu ingin tahu kenapa Ayah bangga?” Firman mengangguk.<br />“Karena anak Ayah jujur, itu yang membuat bangga.” Kening Firman berkerut tak mengerti.<br />“Saat hari terakhir ujian, Firman berniat menyontek, kan?” Firman pun teringat dengan salinan rumus yang dibuatnya. Denga malu-malu Firman mengangguk.<br />“Kertas contekan yang kamu buang ditemukan Ibu.”<br />“Ini, kan kertasnya?” Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kertas yang sudah lecek bekas diremas-remas. “Ibu menemukan di tempat sampah.” Lanjut Ibunya.</p> <p>“Karena Firman jujur, Ayah punya hadiah untuk Firman.” Kata Ibu.<br />“Benar, Yah?” Tanya Firman dengan mata berbinar gembira.<br />“Tentu saja. Ayo ikut Ayah.” Firman mengikuti langkah Ayah menuju mobil.<br />Tangan Ayah membuka pintu tengah mobil.<br />“Wah, sepeda baru! Aku punya sepeda baru! Terimaksih, Ayah.”<br />“Ini hadiah kejujuran untuk Firman.”</p> <p>Firman tidak jadi menyesal karena gagal menjadi juara pertama. Ia gembira karena kejujurannya membawa berkah. Ia berjanji tidak akan menyontek selamanya</p><p><br /></p><p>Sumber : <a href="http://istanacerpen.co.cc/cerpen-anak/cerpen-anak-hadiah-kejujuran#more-12">Istana Cerpen</a><br /></p>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-40713186706435367112009-07-28T01:46:00.001-07:002009-07-28T01:46:56.642-07:00Sepotong Burger<p><span><span class="fullpost" style="font-family: trebuchet ms; font-size: 100%;">“Nah, Sarah. Sekarang kita sudah sampai. Jangan lupa untuk memasukkan uang yang seribu ke kotak infak nanti.”<br />“Iya, Ma.” Sarah pun turun dari sepeda motor dan mencium tangan mamanya. Tak lupa Sarah mengucapkan salam dan melambaikan tangannya sebelum memasuki gerbang sekolah.<br />“Doakan aku menang ya, Ma!”</span></span></p> <p>Di halaman, dua sahabat Sarah telah menunggu. Mereka adalah Norma dan Maryam. Tangan mereka segera melambai saat Sarah masuk ke halaman sekolah.<br />“Sarah! Ke sini!” Teriak Norma tidak sabar. Sarah pun berlari menuju bangku taman tempat kedua sahabatnya duduk.</p> <p>“Kamu sudah siap untuk lomba nanti siang?” Tanya Maryam pada Sarah.<br />“Insyaallah sudah. Semua perlengkapan menggambar telah kubawa. Aku juga sudah punya rencana tentang gambar yang akan kubuat. Sebuah air terjun yang jernih, dengan bau yang besar-besar. Di dekat air terjun itu ada sebuah gubuk kecil yang halamnnya banyak ditumbuhi bunga-bunga.” Jawab Sarah sambil duduk menjajari mereka. Sarah memang terpilih<br /><span id="more-18"></span><br /><span><span class="fullpost" style="font-family: trebuchet ms; font-size: 100%;">“Wah, sepertinya akan menjadi gambar yang bagus. Semoga menang, ya.” Sambung Norma dengan mata berbinar.<br />“Eh, Norma. Lihat itu. Pak Burger datang lagi.” Maryam menunjuk seorang lelaki yang menghentikan gerobak di depan gerbang sekolah. Di dalam gerobak yang terbuat dari kaca, tampak tumpukan burger yang lezat. Di kaca tertempel harga burger Rp. 1500 berwarna kuning.<br />“Iya, dia datang lagi.” Balas Norma. Sarah yang selama ini belum pernah melihat Pak Burger jadi tertarik.</span></span></p> <p>“Emang kalian pernah beli?”<br />“Iya. Dua hari yang lalu. Rasanya enak banget.”<br />“Isinya apa?”<br />“Ada daging ayam, sosis, selada,dan saus. Ehm…mm pokoknya lezat.” Maryam berkata sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.<br />“Kelihatannya enak.” Gumam Sarah.<br />“Kamu pengen beli? Beli sekarang saja. Pak Burger nggak datang setiap hari lo.”<br />“Iya. Mumpung kita belum masuk kelas. Bisa-bisa Pak Burgernya pergi.”<br />“Norma, aku pengen ke kamar mandi. Anterin ya?” Maryam memegangi perutnya sambil meringis memandang Norma.<br />“Ayo. Eh, Sarah kita ke kamar mandi dulu , ya.” Sarah pun mengangguk.</p> <p>Benar saja. Tak lama setelah kedua temannya pergi, Pak burger tampak menggeser gerobaknya. Sarah pun bingung. Dia ingin sekali merasakan Burger itu. Tapi di tasnya hanya ada uang dua ribu perak. Seribu untuk jajan dan seribu untuk dimasukkan kotak infak yang biasa keliling tiap jum’at pagi sebelum pelajaran dimulai.</p> <p>Sarah berpikir sejenak. Seulas seyum pun segera menghias wajah mungilnya yang dibalut kerudung putih.<br />“Aha…! Bukankah aku selalu dapat uang saku setiap hari? Kalau uang infak kupakai beli burger lima ratus, minggu depan aku akan dapat menggantinya dengan uang sakuku.” Sarah pun segera berlari menuju gerbang sekolah.</p> <p>“Pak Burger! Belii…!” Teriakan Sarah membuat Pak Burger menghentikan gerobaknya.<br />“Beli berapa, Neng?” Tanya Pak Burger sambil membuka kotak kacanya.<br />“Satu aja, Pak.” Sarah menyerahkan dua lembar ribuan kepada Pak Burger. Kemudian Pak Burger memberinya sekeping uang logam senilai limaratus rupiah.</p> <p>“Benar-benar burger yang enak.” Sarah memakan burgernya dengan nikmat. Menggigitnya pelan, mengunyah dengan lembut dan menelannya. Tepat saat memasukkan potongan burger terakhirnya, bel tanda masuk berbunyi. Sarah segera bergegas menuju kelasnya sambil membersihkan sisa burger yang menempel di sudut mulutnya.</p> <p>* * *<br />Tee…et! Tee…et! Tee…et!<br />Waktunya istirahat. Itu artinya Sarah harus menyiapkan alat menggambarya untuk mengikuti lomaba menggambar. Namun sarah tidak melakukan apap-apa. Ia hanya menunduk lesu.<br />“Sarah. Kamu kan harus segera menuju lapangan sekolah. Semua peserta lomba menggambar sedang bersiap-siap menuju ke sana. Nanti kamu terlambat.” Norma menghampiri bangku Sarah yang terletak dua bangku di belakangnya.</p> <p>Sarah mendongak sambil meringis.Wajahnya tampak pucat.<br />“Kamu kenapa?” Tanya Norma cemas.<br />“Perutku sakit sekali. Kepalaku juga pusing.” sarah kembali meletakkan kepalanya ke meja.<br />“Maryam, sebaiknya kamu menemui Bu Fatimah dan bilang kalau Sarah sakit. Biar aku menemani Sarah di sini.”</p> <p>Maryam pun bergegas pergi. Tak lama kemudian, Maryam sudah kembali bersama Bu Fatimah.<br />“Kenapa Sarah?”<br />“Perut saya sakit, Bu. Kepala saya pusing.”<br />“Tadi Sarah makan apa?” Tanya Bu Fatimah.</p> <p>Sarah diam sejenak. Ia teringat burger lezat yang dimakannya sebelum masuk kelas. Sarah pun sadar bahwa ia merasakan sakit perut dan pusing tak lama setelah makan burger.<br />“Makan burger, Bu.”<br />“Kalau begitu Sarah ke ruang UKS dulu ya. Sebentar lagi mamamu akan menjemput. Tadi Ibu sudah menelpon mamamu.” Saran Bu Fatimah dengan lembut.<br />“Tapi saya harus ke lapangan untk mengikuti lomba, Bu.”<br />“Saat ini kamu harus istirahat. Kalau memaksa ikut, kamu akan tambah sakit. Jadi sekarang kita ke UKS saja sambil menunggu mamamu datang.”</p> <p>Sarah tak bisa beruat apa-apa. Dengan lemas, ia mengikuti langkah Bu Fatimah menuju ruang UKS. Sarah benar-benar menyesal telah membeli burger dengan uang yang seharusnya untuk infak. Gara-gara burger itu, Sarah tidak dapat mengikuti lomba menggambar. Perutnya jadi sakit dan kepalanya pusing.Sarah hanya bisa menangis menyesali apa yang telah dia lakukan.</p> <p>“Nah itu, mamamu sudah datang.” Kata Bu Fatimah sambil menunjuk seorang wanita yangs edang berjalan ke arah mereka.<br />“Mama..!” teriak Sarah sambil berjalan sedikit cepat.<br />“Kenapa, Sarah?”<br />“Ma, maafkan Sarah ya, Ma. Hu…hu….huu…” Sarah memeluk mamanya erat sambil menangis.<br />“Sarah kenapa? Sarah kan nggak salah apa-apa.” Tanya mama bingung.<br />“Sarah salah, Ma. Sarah nggak menuruti pesan Mama. Tadi Sarah hanya memasukkan uang lima ratus ke kotak infak. Yang lima ratus Sarah belikan burger. Akhirnya Sarah sakit perut dan pusing. Sarah juga nggak bisa ikut lomba menggambar. Sarah menyesal.”</p> <p>Tangan Mama memeluk Sarah dengan erat. Kemudian Sarah di ajak duduk di bangku.<br />“Kalau Sarah sakit setelah makan burger itu, tandanya Allah masih sayang sama Sarah.”<br />“Mana mungkin Allah masih sayang sama Sarah? Bukankah Sarah tidak patuh pada Mama?” Tanya Sarah tak mengerti.<br />“Karena Allah tidak ingin Sarah mengulangi perbuatan itu, makanya Allah memberi rasa sakit pada Sarah. Kalau Sarah tidak sakit, pasti Sarah ingin mengulangi lagi perbuatan tadi. Allah ingin Sarah menjadi anak yang baik.”</p> “Apa Allah mau memaafkan Sarah, Ma?”<br />“Tentu saja. Asalkan Sarah benar-benar menyesal dan tidak mengulangi perbuatan itu.Dan jangan lupa untuk meminata maaf pada Allah. Sekarang ayo kita pulang.”<br />Sarah menurut. Ia tak peduli lagi dengan teman-temannya yang sedang mengikuti lomba menggambar. Hari ini Sarah telah mendapatkan pelajaran berharga. Sarah bertekad dalam hati untuk tidak jajan dengan uang infak.<br /><br />Sumber : <a href="http://istanacerpen.co.cc/cerpen-anak/cerpen-anak-sepotong-burger#more-18">Istana Cerpen</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-65789414127896556572009-07-28T01:42:00.000-07:002009-07-28T01:46:05.684-07:00Sang Ratu<p><span><span class="fullpost"><span style="font-family: trebuchet ms;">Kerjanya hanya bertelur dan makan. Ia tidak perlu capek mencari makanan seperti semut-semut pekerja. Tapi bukankah aku tidak boleh menyesali takdir. Pasti Allah mempunyai tujuan tertentu menjadikan aku sebagai semut biasa.</span></span></span></p> <p><span style="font-family: trebuchet ms;">Langkah Sang Ratu berhenti pada sebutir telur yang tampak bersih dan besar. “Sepertinya telur ini yang akan menggantikanku kelak.” Ruangan yang semula sunyi kini menggema karena suara Sang Ratu. Dinding-dinding tanah memantulkan suara Sang Ratu dengan nanar. “Kerajaan semut kita tidak akan musnah. Prajurit kita cukup banyak. Meskipun ratusan semut akan mati karena kekejian manusia, itu tidak akan memberi dampak yang berarti. Telur-telur ini akan segera menggantikan mereka dengan semangat dan kekuatan baru.” Senyap. Tak ada sahutan untuk kalimat Sang Ratu. Dan memang itu tidak perlu. Sang Ratu tidak pernah membutuhkan komentar dari semut pekerja sepertiku. Hanya udara yang menggema. Puas melihat keadaan telur-telurnya, Sang Ratu melangkahkan kakinya menuju ruang yang ada di seberang lorong. Dan aku, masih setia mengikuti langkah kaki tegapnya. Setia. Satu kata itu yang selama ini tertanam kuat dalam jiwaku. Bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi pengawalnya.</span><br /><span id="more-16"></span><br /><span><span class="fullpost"><span style="font-family: trebuchet ms;">Dua ekor semut penjaga menyambut kedatangan kami. Bibir mereka melempar senyum. Tapi aku yakin senyum ramah mereka hanya mendapat balasan dariku. Bukan dari Sang Ratu. Ada bau khas yang langsung menyergap hidung di ruangan yang cukup luas ini. Aneka makanan menjadi hiasan tersendiri. Ada butiran gula, serpihan roti sampai bau khas daging. Saraf-saraf di kepalaku langsung mengirim sinyal ke kelenjar liur untuk memproduksi cairan. Tapi keinginanku tinggal bayangan. Semua makanan di ruangan ini memang untuk Sang Ratu. Untuk semut sepertiku ada bagian tersendiri.</span></span></span></p> <p><span style="font-family: trebuchet ms;">Sang Ratu tampak lahap menikmati hidangannya. Bahkan kalau boleh aku katakan Sang Ratu sangat rakus. Disela-sela mengunyah, suaranya kembali menggema. “Aku harus makan yang banyak agar sehat dan kuat. Dengan begitu, aku segera bertelur lagi. Kalau telurku banyak, kalian juga akan senang. Kekuatan kita akan semakin besar.” Hanya dinding yang menyahut dengan gaungnya. Namun tiba-tiba ada getaran yang tercipta. Gemuruh dinding yang mengguncang semuanya. Gelegar dan gempa. Bumi berguncang. Tubuhku berguncang. Makanan dan tubuh Sang Ratu juga bergetar. Dinding-dinding tanah …<br /></span></p><p><br /><span style="font-family: trebuchet ms;"></span></p><p><span style="font-family: trebuchet ms;">Sumber : <a href="http://istanacerpen.co.cc/cerpen-remaja/cerpen-remaja-sang-ratu#more-16">Istana Cerpen</a><br /></span></p>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-47313041730001288582009-07-28T01:36:00.000-07:002009-07-28T01:38:00.667-07:00Balada Sebuah Tugas Statistik<p>[ Cerpen Deteksi <a tip="Cerpen Halaman Deteksi" href="http://www.jawapos.com/" target="_blank">Jawa Pos</a>, Senin, 21 Juli 2008 ]</p> <p>Oleh Retno Wi</p> <p>Brakk!!…</p> <p>Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…</p> <p>Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?<span id="more-25"></span></p> <p>Brak!!…</p> <p>Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.</p> <p>“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!</p> <p>“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”</p> <p>Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.</p> <p>Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.</p> <p>“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”</p> <p>“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”</p> <p>“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”</p> <p>“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.</p> <p>Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.</p> <p>Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….</p> <p>Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.</p> <p>Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.</p> <p>Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.</p> <p>Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”</p> <p><strong>****</strong></p> <p>Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.</p> <p>“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?</p> <p>“Lo sendiri?”</p> <p>“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”</p> <p>Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.</p> <p>“Pulang?”</p> <p>Laki- laki di depannya mengangguk mantap.</p> <p>“Trus, tugas statitiskmu?”</p> <p>“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.</p> <p>“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.</p> <p>“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.</p> <p>“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”</p> <p>“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”</p> <p>“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”</p> <p>“Maksudnya?”</p> <p>“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”</p> <p>“Jadi?”</p> <p>“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”</p> <p>Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.</p><p><br /></p><p>Sumber : <a href="http://istanacerpen.co.cc/cerpen-remaja/balada-sebuah-tugas-statistik#more-25">Istana Cerpen</a><br /></p>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-68408176822784836212009-07-28T01:32:00.000-07:002009-07-28T01:34:20.163-07:00Untuk SahabatKetika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-remaja/untuk-sahabat.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-38917568803030028132009-07-28T01:31:00.000-07:002009-07-28T01:32:45.345-07:00Surat Dalam HujanCerpen Rohyati Sofyan Dimuat di Suara Karya 11/16/2008HUJAN. Selalu demikian di bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap nanti. Hujan. Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek, bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku ingat kamu. Aku suka hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan. Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku, entah Mas Herwan FR atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan apa-apa karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada orang-orang untuk suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita dalam hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku kesepian. Apa yang kulakukan. Duduk di kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku membayangkan kamu. Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan begini, apa yang mereka cari? Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku kedinginan. Aliran listrik padam. Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku. Apakah di Bandung saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas mata kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat, buku tertentu, karya sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV? Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional. Dan kamu janji akan mengajariku jika nanti bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberitahu siapa diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing. Sebuah silaturahmi yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun sampai 25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi-bunyi. Bisakah kamu bayangkan? Ah, aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater, atau bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis: Setting: Kamar, 141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik. Barangkali sekaranglah saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya, kamu ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan Terbaik-terbaik bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada yang punya teksnya? Ironis, bukan? Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik. Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul Hari dalam puisi Meja Kayu yang kembali muram-surealis, menulis lagu pedih tentang hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain country. Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi atau Srikandi, perpaduan antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapai puncak Mahameru sementara saudara-saudaranya satu per satu berguguran. Kamu tahu artinya, kan? Aku lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang pernah kita baca waktu kanak-kanak dulu, meski mungkin dalam dimensi yang berbeda. Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu minatku. Aku tak tahu banyak tentang musik, padahal kamu pasti asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yang barusan dimuat koran, kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu mengingatkanku pada Abuy teman SMU-ku yang sangat mengidolakan mereka dan senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah yang bisa meluapkan kegelisahan terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan. Lucu, adakah orang tuli yang begitu besar rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa dirasakan. Katakan aku aneh. Aku memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu lebih banyak tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra. Ya, itu jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu masih menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak, kamu mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar, sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku jatuh cinta sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi dunia. Naifkah? Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di sana gunung begitu dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut yang mengental; terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali bentuknya; kilatan warna perak yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan kuabadikan keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari mulutku pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu untuk mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku. Mungkin cukup lama. Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar. Atau perpaduan perempuan mana yang pernah kau kenal.Hujan<br /><br />Sumber :<a href="http://cerpen.net/cerpen-romantis/surat-dalam-hujan.html"> Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-74788526270711844572009-07-28T01:30:00.000-07:002009-07-28T01:31:19.920-07:00Dicolek " Tikus "Malam itu, Nury tidur duluan, aku dan Roby masih asik bermain kartu, berempat bersama Dion dan Sugeng. Nury emang tipe orang yang tidak suka kegiatan-kegiatan yang kata dia "membuang-buang waktu", kalo nurut aku sih fine-fine aja, selama kegiatan yang kita lakukan tidak membahayakan dan merusak, dan pendapatku ini seringkali diamini oleh yang lain, sesama penghuni kos di komplek Haji Durojak (aslinya sih Abdurrozak, tapi karena terlalu ribet, jadilah nama yang simpel "Durojak"), yang semuanya 10 kamar. Aku tidur bersama Nury dan Roby, kami bertiga bersama 5 teman yang lain yang kos satu komplek, bekerja di tempat yang sama.Menjelang tengah malam, permainan kartu kami bubar, soalnya besok aku dan Roby mau nonton film di Mangga 2. Ketika aku bersiap hendak tidur, kulihat Nury sudah tertidur pulas. Lampu kamar segera dimatikan oleh Roby, karena kami sudah terbiasa tidur dengan mematikan lampu. Belum lama aku tertidur pulas, tiba-tiba aku terbangun karena mendengar jeritan, kubuka mataku untuk melihat yang terjadi, dari sorot lampu di luar kamar terlihat kejadian yang menakutkan, Nury meloncat-loncat sambil berputar-putar, mengayun-ayunkankan tangan kirinya ke arah pinggangnya, sambil berteriak-teriak "Whoaaa....whoaaa....whoaaa". Melihat kejadian itu, aku hanya bisa terpaku di tempat aku berbaring, yang terpikir di benakku hanyalah bahwa Nury sedang kesurupan dan aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, aku takut kalau-kalau Nury bertindak sesuatu yang di luar nalar dan batas kewajaran. Dalam situasi seperti itu, Roby yang juga terbangun langsung menyalakan lampu kamar, dan mendiamkan Nury sambil memegang pundaknya dan berujar "Sadar Nur, sadar...!!!!!!". Sementara dari luar kamar, terdengar suara gaduh, tetangga-tetangga kos terbangun dan menghampiri pintu kamar kami, "Hei, ada apa...!!! Buka pintunya..!!!", kudengar Sugeng yang kamarnya di depan kamarku berteriak. Aku sendiri yang masih tertegun melihat Nury tak juga berhenti melompat-lompat dan berteriak, belum bisa berbuat apa-apa. Sekitar satu menit kemudian, kulihat Roby sudah bisa menenangkan Nury, dan Nury pun sudah tidak melompat-lompat dan berteriak, tapi tangan kirinya masih diayun-ayunkan ke atas dan ke bawah. Setelah melihat itu, aku langsung bisa berdiri dan buru-buru membuka pintu, untuk menenangkan orang-orang yang gaduh di luar kamar.Setelah keadaan tenang, barulah ketahuan kejadian sebenarnya, yang ternyata sangat konyol. Sewaktu Nury tidur, tanpa sengaja tangan kirinya tertekan oleh badannya sendiri, karena lama sehingga peredaran darah di tangannya tidak lancar dan menyebabkan mati rasa, pada saat itu dia menggaruk pinggangnya yang terasa gatal dengan tangan kiri, tapi ketika dia menggaruk pinggangnya, yang dia rasakan adalah ada sesuatu yang mencolek-colek pinggangnya, dan dalam keadaan tidur dia terus mencoba menyingkirkan "sesuatu" tersebut, karena "sesuatu" itu tidak hilang-hilang juga, akhirnya dia terbangun dan mencoba menyingkirkannya dengan mengibas-ngibaskan tangan kirinya ke pinggangnya, di dalam kegelapan ruangan di kamar, dan dalam keadaan masih setengah sadar, yang ada di bayangan Nury adalah bahwa "sesuatu" itu adalah tikus yang merayap ke pinggangnya, dan sepontan dia berdiri dan menyoba menyingkirkan "tikus" itu, tapi karena "tikus" itu tidak kunjung pergi juga bahkan semakin keras "mencakar" pinggangnya, dia lalu histeris dan berteriak-teriak, hingga terjadilah kegaduhan di malam itu. Orang-orang yang terbangun dan mendatangi kamar kami langsung menggerutu, begitu mengetahui ternyata kejadiannya hanyalah disebabkan masalah "mati rasa", lalu bubarlah masing-masing meneruskan tidurnya. Sebelum bubar, Dony, tetangga kos kami nyeletuk,"Wah, coba tangan yang mati rasa itu diletakkan di bawah sarung, pasti lebih enak, soalnya serasa ada tangan lain yang sedang 'bekerja'". Waduh, boleh tuh dicoba!!<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-lucu/dicolek-tikus_1.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-74355309734916730722009-07-28T01:28:00.001-07:002009-07-28T01:30:00.036-07:00Penjual PensilTentunya kita pernah naik bis dan bertemu dengan pedagang yang aneh-aneh. Masih inget gak waktu pertama kali dapat “hadiah” sebuah barang yang tiba-tiba dibagikan orang di pangkuan kita waktu duduk di bis?. Mungkin pertama kali heran tetapi akhirnya jadi sedikit sebal karena kita jadi waspada karena dititipi barang dagangan dengan paksa sehingga ga enak klo mo tidur. Ada juga sih kita yang ceroboh menjatuhkan hingga ke kolong bangku, wis pokoke sangat merepotkan. Tapi klo aku sih daripada sebal mending menikmati momen sang penjual ngoceh berpromosi ria soal barang dagangannya. Terkadang ada juga yang kreatif, misalnya penjual pensil di bis beberapa tahun yang lalu.<br />Sambil membagi dagangannya dia nyerocos…”Silahkan dipilih warnanya macem2, hanya dengan uang lima ribu bisa dapet sepuluh pensil istimewa, warnanya pun gaul, klo suka dangdut tinggal pake yang kelap-kelip, ditanggung gak habis dalam sepuluh tahun. Pensil ini punya kemampuan bisa memendek dan kayunya empuk untuk diraut atau enak juga buat digigit-gigit karena bahannya tidak beracun dan ramah lingkungan. Selain buat nulis pensil ini punya fungsi istimewa yaitu untuk relaksasi. Tinggal dikorek-korek ke kuping pasti hidup jadi lebih indah, juga bisa buat alat pertahanan diri tinggal dicolokin ke mata lawan, atau klo nekat bisa juga digunakan sebagai tusuk gigi, tapi klo yang terakhir itu kurang disarankan…..,” Nah itu emang penjual pensil yang agak eror tapi minimal punya selling skill. Intinya sih klo mo dagang jangan sampai menjatuhkan harga diri, misalnya dengan cara melas… “ Om ayo dong dibeli, saya belum makan tiga hari.., kasihanilah, buat makan…..” hihihi cara yang ga mbois blas… Begitupun cara-cara yang gak etis misalnya ngancam-ngancam, maksa-maksa atau berbohong tentang barangnya. Sebagai konsumen kita juga ga boleh bikin pedagang sakit hati. Jadi ingat Hilman dalam novelnya Lupus Kecil, ceritanya Lupus lagi liat penjual siput laut atau keong, trus dia nanya-nanya..”Mang siputnya bisa dimakan ga?”, “ya gak bisa dek, ini kan siput laut..”..”trus bisa gigit Ga?” “ Gak dong pokoke aman kok buat mainan. Adek mo beli?” tanya pedagangnya antusias. Trus si Lupus jawab, “ Aneh, klo gak bisa dimakan dan ga bisa gigit kok dijual? Mending jualan semut Rangrang aja, walo ga bisa dimakan tapi kan bisa gigit…..” Nah itu baru sekelumit cerita tentang pedagang dan konsumen. Intinya sih sebagai konsumen kita juga ga boleh mengadul-adul barang dagangan orang tapi gak beli dengan legitimasi pembeli adalah raja, padahal yang namanya pembeli adalah yang bener2 melakukan transaksi. Tapi juga pedagang emang suka menyebalkan tapi kok kita butuh ya. Jadi seperti hubungan dilematis, benci tapi rindu… klo didepan pedagang kita jadi sok mencibir… “kok mahal banget sih bang, barangnya ga bagus nih dsb…”..tetapi begitu nyampe rumah kita cekikikan seneng karena dapet barang bagus dan murah ampe dipamerin ma temen2 sekantor. Budaya yang aneh dan mungkin bagi kita itu white lie, padahal tetep aja ga etis seperti gak etisnya pedagang yang suka bohong..”waduh klo segitu sih buat kulakannya aja ga nutup Neng..” atau “pokoknya klo ada yang lebih murah ta belinya sendiri deh..dsb..”. Hmmm… ternyata benar juga klo gak ati2 di Pasar bisa jadi tempat kita jual beli dosa..<br /><br />Sumber: <a href="http://cerpen.net/cerpen-lucu/cerpen-penjual-pensil.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-68160776639583119012009-07-28T01:26:00.000-07:002009-07-28T01:28:34.847-07:00PersahabatanPagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-cinta/persahabatan.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com25tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-22294749629898484432009-07-28T01:24:00.000-07:002009-07-28T01:26:22.690-07:00Menunggu Pelangi“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!” teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku, Pelangi. Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan. Hari ini, begitu indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari ini. Tak lama, rintik – rintik hujan mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi permukaan daun mereka. Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain. Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum hujan reda. “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan. “ Hai! Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat ini. Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam hati. Mobil Avanza berwarna silver menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia?? Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari Matematika. Istirahat, aku menemui Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan Pelangi ke depan pintu kantin. Dag dig dug makin terasa. Makin keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas “PASTI!!!”. Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama. Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh. Besoknya, aku berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku. Pulangnya aku dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit! Mengapa? Aku juga ga tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah sakit. Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.” Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar - benar dipenuhi haru hari ini, Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari ini. “Tito!!” panggil mama dan menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “ IYA” Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana? Oh iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama. “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih. “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman? Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan heran. “Iya. Kamu tau kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.” Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap mengikuti balap ini. Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish. Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa ya????!!!!!!” Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari motorku! Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi. Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah mati ya. Ternyata aku sudah mati. Perlahan – lahan aku membuka mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit? Aku bangun dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya?? “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”. Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang. Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi : “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling gue sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?” Itupun belum semua. Yang paling membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo” Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia. Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.<br /><br />Sumber :<a href="http://cerpen.net/cerpen-romantis/menunggu-pelangi.html"> Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-11820452386157389792009-07-28T01:22:00.000-07:002009-07-28T01:24:43.423-07:00Dilarang Jatuh CintaCerpen Maroeli Simbolon, Dimuat di Republika 12/19/2004Wah! Semua mata terbelalak -- berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai 33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris, ada juga yang terkagum-kagum. Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas. Beberapa polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans. Mengapa ada yang ingin bunuh diri?Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta, atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas. Padahal, embun masih terjun ke bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung. Orang-orang pun berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis, ''Kubuktikan cinta dengan kepasrahan!'' Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan seseorang, ''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh diri!''Semua terperangah, berteriak ngeri. ''Kegilaan apa lagi ini?!''''Lihat! Di gedung 67 tingkat itu juga!''''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''''Lihat! Di atas menara pahlawan itu juga!'' Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang. Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang mencemaskan ini? Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-koran terkemuka. Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari psikolog hingga pengamat sepakbola. Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara, berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi. Penduduk negeri itu semakin dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan, anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan tindakan bunuh diri itu.''''Ya. Ini harus kita hentikan!''''Bagaimana caranya? Adakah cara jitu yang kamu pikirkan?'' ''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan arah.Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu. Apa lagi yang dapat dilakukan? Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara, burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau percah. Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat. Disengat kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan, ''Kita bikin pengumuman!'' teriaknya pasti.Seketika semua melongong. ''Pengumuman? Untuk apa?''''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''Semua kurang menanggapi. ''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di depan mata kita?'' Maharaja angkat bahu. ''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab Maharaja. ''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta, entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.'' ''Wah, mana mungkin. Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang, tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur. ''Terserah. Jika ingin selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja. ''Sekarang, mari kita pasang pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!'' Meski dijerat tali ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara. Maharaja bahkan melakukan siaran langsung di seluruh televisi: ''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab, mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!'' Aneh. Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya, banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci, esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai. Hari masih terlalu subuh. Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan. Apa yang sedang terjadi. Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri. Orang-orang menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya, Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan cintanya!'' Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak dapat hidup tanpa cinta. Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal, melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari -- dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga. Semua melotot heran. ''Mengapa Maharaja bisa segila itu?''''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu. Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan menariknya, ''Cintakah?!'' Jakarta, 2003/2004<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-romantis/dilarang-jatuh-cinta.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-72583289183166402492009-07-28T01:20:00.000-07:002009-07-28T01:22:06.892-07:00OBAMA dan Tukang BecakPaimin memarkir becaknya di samping becak Pakde Kamto.Dia masuk ke warung nasi. Nampak Pakde Kamto, kakek berusia 70 tahun, sedang duduk disana sambil menghisap rokok klobot kegemaran beliau. Paimin pun duduk mendekati Pakde Kamto. “Sudah lama Pakde? “ kata Paimin sembari dia memesan kopi ke pemilik warung.“Lumayan lama, Min…”.“Tadi saya dapet penumpang bule lho Pakde… Lumayan mbayarnya agak banyak…, jadi Pakde pesen makan apa aja biar saya yang traktir…”“Halah ra usah ,Min..simpen aja, aku masih ada uang, nanti saja kalo aku butuh juga utang ke kamu hehehe..” Pakde Kamto terkekeh memerkan gusinya yang sudah tak bergigi itu. Kakek-kakek itu kembali berkata“..ngomong-ngomong soal bule, aku jadi inget waktu aku muda dulu ketika aku masih narik becak di daerah Menteng, Min…, tahun tujuhpuluhan dulu, aku punya langganan bule, seorang ibu2, dan anaknya…” Pakde Kamto berhenti sejenak menghisap rokoknya lalu berkata lagi, “Tiap pagi aku mengantarkan mereka ke sekolah anaknya itu, Cuma sekarang aku jadi mulai mikir..”“Mikir apa to Pakde? “sahut Paimin sambil menyeruput kopinya“Lha iya, kok sekarang foto bule itu sama anaknya yang kulitnya hitam itu, sering muncul di televisi, itu lho yang jadi presiden Amerika, Barak obama…”“Hah ! gleg..guhuk huk..huk..” Paimin tebatuk-batuk tersedak kopinya“minumnya pelan-pelan Min, .. “ Pakdhe Kamto menepuk-nepuk punggung Paimin. Setelah batuknya reda Paimin menatap takjub ke arah Pakde Kamto. Dengan rasa ingin tahu yang memuncak dia bertanya“ trus…Bagaimana Pakdhe bisa ingat wajah mereka? kan hal itu sudah puluhan tahun yang lalu? ““Lha yo jelas ingat, kan aku jarang dapat penumpang bule, lagi pula aku kan sudah bilang mereka itu langgananku tiap pagi, dan mereka juga pasti ingat sama aku. Ibunya si Barry itu juga sering minta diantarkan ke pasar. Kami sering ngobrol-ngobrol sepanjang perjalanan, orangnya ramah. ....”“Wah, kalau begitu coba aja Pakde hubungi mereka, telpon atau kirim surat…”“Buat apa. Min, malu to yoo…”“Lho Pakde ini gimana, kan itu bisa merubah nasibnya Pakde. Masak sampai kakek-kakek masih mbecak. Lagipula semakin banyak si Obama itu diingatkan saat dia di Indonesia maka nanti dia akan membantu Bangsa kita ini Pakdhe..” ujar Paimin bersemangat sampai otot lehernya keluar.“Membantu bagaimana. Diingatkan Gimana, ngawur kamu itu..Lha wong si Barry itu dulu sering di olok-olok sama temen2nya.. Londo ireng..londo ireng…. gitu. Dia juga pernah diceburin beramai-ramai ke rawa-rawa. Liat aja fotonya di koran-koran waktu sama-sama temen sekelas, disitu kan nampak dia jauh dari gurunya. Aku malah khawatir si Barry itu sakit hati. Kalau diingatkan malah nanti Indonesia di Bom Atom gimana.”“Ah, Pakde Kamto ini terlalu khawatir. Pokoknya Pakde harus menghubungi si Obama. Masalahnya kapan lagi kita bisa menyumbang bagi kemajuan bangsa Indonesia”“Ya aku sih manut aja Min, trus ngirim suratnya piye?”“ Aku punya kenalan Mahasiswa. namanya Samuwel. Dia sering cerita kalau sekarang bisa ngirim surat lewat komputer…Kita minta tolong dia saja Pakde…Sekarang aja yuk pakde, biasanya Samuwel ada di kostnya kalo malam begini…”“Yo wis ayo Min…” Mereka berdua akhirnya meninggalkan warung nasi dan beriringan menggenjot becaknya ke tempat kost sang Mahasiswa Samuwel… Hari-berganti hari, pagi menjadi siang..siang menjadi petang, petang menjadi malam..tak terasa sudah seminggu sejak Pakde Kamto dan Paimin mengirim email ke Obama. Mereka bertemu lagi di warung nasi yang sama .“Min…”“iya Pakdhe…” sahut Paimin acuh tak acuh“besok kalo anakmu lahir laki2 kamu harus kasih nama PRESIDEN…”“ah Pakde ini ada-ada saja…”“lho..iya penting lho. Nanti kalo anakmu sudah besar dan bermasyarakat trus kepilih jadi ketua RT, trus ada acara sambutan ketua RT…nanti MCnya akan ngomong gini : acara selanjutnya sambutan bapak ketua RT kita , waktu dan tempat saya persilahkan kepada bapak PRESIDEN…hehehe..” Pakde Kamto tertawa kerkekeh-kekeh memamerkan gusinya yang tak bergigi itu. Paimin hanya tersenyum mendengar ucapan orangtua yang dia anggap seperti ayahnya sendiri itu“Nama itu sebuah doa, contohnya namaku, Kamto..kalo ditulis dalam bahasa Inggris Come To, makanya hidupku berpindah-pindah,,trus namamu Paimin, kalo dalam bahasa Inggris ditulis… Pa.. I mean….” Tiba-tiba dari kejauhan seorang pemuda keriting berkacamata tebal nampak tergopoh-gopoh berlarian kearah mereka. sambil berteriak-teriak heboh “Paimin…!, Pakde…! ada balasan email dari OBAMAA…!!!” Bersambung ke Obama dan Tukang becak bagian 2<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/Cerpen-islami/obama-dan-tukang-becak.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-35559166956212843562009-07-28T01:17:00.000-07:002009-07-28T01:19:31.172-07:00Terima Kasih TuhanHari ini untuk kesekian kalinya aku marah, murka, geram dan tak tahan untuk melampiaskan emosi yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun ini... Anak ini sungguh luar biasa mempermainkan hidupku. Seperti roller coaster, hidupku dan emosiku kini naik turun tanpa bisa terkendali lagi.... Tesis yang kubuat dengan susah payah, mengorbankan waktu bertahun-tahun, menghabiskan banyak tenaga dan keringat (juga uang...) kini teronggok seperti sampah... Penuh coretan gambar boneka, rumah, dan entah apa lagi aku sudah tak memperhatikan lagi.<br /> "Sini kamu... Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu rusak buku mama!" Dengan amarah yang meluap-luap seperti gunung berapi yang siap memuntahkan laharnya, aku menghampiri Rara, anak perempuanku itu.<br /> "Aku gambar mama dan aku lagi maen di taman.." Dia sibuk saja berceloteh tanpa merasa bersalah, tanpa takut juga. Anakku ini hiperaktif, aku sampai malu kalau mengajak dia ke tempat umum. Beberapa kali kubawa ke restoran, baik yang cepat saji maupun yang bukan, dia selalu berlarian tak bisa diam. Sering juga menghampiri meja orang lain dan mengajak orang yang bersangkutan ngobrol. Sungguh tidak sopan! Belum lagi dia susah makan dan suka menjerit-jerit. Huh! Di mall atau supermarket apalagi. benar-benar seorang trouble-maker cilik... Kalau cuma merengek minta dibelikan sesuatu masih bisa kuatasi. Tapi yang dia lakukan adalah MERUSAK! Aku pernah mengganti keramik yang dia pecahkan di sebuah toko buku. Aku sering ditegur pramuniaga karena dia membongkar barang-barang yang dijual. Dan membuang ke lantai, misalnya seperti mengeluarkan pasta gigi dari bungkusnya, lalu diacak-acak... arggghhh... Energiku habis mengurus anak ini. Meninggalkannya hanya berdua dengan pembantu rumah tangga, aku tak berani. mengingat banyak kasus penganiayaan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh pembantu. Pengurus rumah tanggaku yang sekarang orangnya cukup sabar, tapi aku masih was-was juga meninggalkan anakku lama-lama dengan si mbak. Soalnya anakku ini berbeda dari anak-anak lainnya. Betapa irinya aku pada adikku Nana yang memiliki anak kalem, lembut dan gampang diatur. Atau pada sahabatku Santy yang memiliki anak laki-laki yang berprestasi di sekolah, selera makannya bagus dan prilakunya yang sopan. Kalau dikatakan faktor genetis, rasanya mustahil Santy yang super duper nakal sewaktu kecil bisa memiliki anak sebaik dan semanis Ryan. Sedangkan aku yang biasa-biasa saja (malah tergolong introvert) kok bisa punya anak yang sifatnya seperti ini. Aku sering mengeluh dan berkonsultasi dengan teman-temanku. Mereka menyarankan untuk bertanya pada ahlinya. Dan hasilnya anakku tergolong asperger autism, sejenis autis yang tidak terdeteksi sejak dini. Baru terlihat sekita umur 6 tahunan, dan ciri-cirinya hampir mirip dengan anak hiperaktif...<br /> Tak terhitung sudah berapa kali aku marah kepada anakku yang baru berumur lima tahun itu. Tak terhitung berapa banyak air mata yang tercurah karena dia tak sengaja sering melukai dirinya sendiri... Memegang setrika yang masih dicolok Mbak Ningsih waktu dia berumur 1,5 tahun. Keserempet sepeda motor karena dia lari dari rumah waktu pintu terbuka. Waktu itu aku sedang mengunci pintu hendak keluar rumah, tiba-tiba Rara langsung melesat ke jalan. Padahal aku sudah memegang tangannya, tapi tetap saja dia bisa melarikan diri. Ternyata inspirasi rumah tanpa pagar (cluster) yang indah kurang tepat bagiku karena nyaris mencelakakan anakku Rara. Belum lagi dia bertengkar dengan anak tetangga lalu kepalanya berdarah karena dilempari batu. Aduuuhhh!!! Jangan harap aku mau membawanya ke rumah teman atau saudara... Ada-ada saja tingkahnya yang membuat aku tidak enak hati. Mulai dari menarik kaki bayi temanku yang baru melahirkan, memecahkan koleksi keramik mini kesayangan sepupuku, yang susah-susah dikumpulkannya sejak remaja, bahkan sampai hunting keluar negeri...<br /> "Kamu nakal banget sih." Bertubi-tubi kulayangkan pukulan ke pantatnya yang tepos. Hilang sudah rasa kasihan karena dia kurus akibat susah makan. Hilang sudah kesabaran yang sudah bertumpuk-tumpuk sepanjang minggu yang berat ini... Mengerjakan thesis sampai titik darah penghabisan. Thesis yang sudah lama terbengkalai karena aku menikah kemudian hamil, melahirkan dan mengurus Rara...<br /> "Ampun mama.. sakit...." Rintihan Rara tak membuatku berhenti. Terisak-isak dan terpuruk di lantai, Rara masih sempat berkata, "Mama jahat sama aku!!!" Kata-kata yang terlontar dari bibirnya yang mungil itu membuatku semakin naik pitam. Kujewer kupingnya dan kuseret Rara ke kamar mandi. Setan sungguh sedang menguasaiku sehingga aku tak sadar apa yang aku lakukan... Aku mengguyur Rara hingga basah kuyup...<br /> "Bu, eling bu... Kasian non Rara. Saya yang salah, Bu. Tadi ndak lihat non Rara ngambil buku ibu dari atas lemari. Dari kemaren kan non kepengen banget ngambil buku itu..." Mbak Ningsih tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar mandi, berlinang air mata.<br /> Masih menyimpan kekesalan, aku keluar dari kamar mandi. Kuambil flashdisk dari dalam laci meja tulisku. Harus buru-buru ke warnet buat ngeprint ulang thesisku yang telah dirusak Rara. Komputer di rumah rusak dan belum sempat diperbaiki. Laptop aku tak punya.<br /> Pulang ke rumah, Rara sudah tidur. Tumben, gumamku dalam hati. Biasanya selalu susah disuruh tidur. Minta dibacakan dongeng dulu, tapi tetap tidak mau tidur. Menjerit-jerit dan melompat-lompat di atas ranjang. Hmmmph!!! Semalam saja dia ikut papanya begadang nonton bola di televisi.<br /> Kuraba keningnya panas. Rara demam rupanya. ya Tuhan, jangan-jangan Rara panas karena kusiram tadi. Dalam tidurnya, Rara mengigau, "Jangan mama. Aku jangan dipukul lagi!" Oh sungguh memelas. Kenapa tadi aku bisa setega itu ya? Kini melihat wajahnya yang innocent seperti bayi (wajah Rara memang tidak banyak berubah semenjak dia bayi), hatiku miris. tanpa sadar air mataku bergulir ke pipi, dan jatuh ke wajah Rara.<br /> "Mama...." Rara terbangun dari mimpi buruknya.<br /> "Ya sayang..." Aku memeluk tubuh mungilnya.<br /> "Rara minta maaf ya, Ma.. Rara janji nggak nakal lagi." Kalimat ini selalu diulangnya setiap kali ia melakukan kesalahan.<br /> "Janji ya, sayang...." aku mencium kepalanya.<br /> "Janji, ma. Mama masih marah sama Rara?" bola mata yang bulat itu menatapku penuh harap.<br /> "Mama nggak marah lagi, karena mama sayang sama Rara," air mataku jatuh lagi seperti dua tetes gerimis membasahi wajah mungil Rara.<br /> "Jangan nangis lagi, mama... Terima kasih Tuhan, mama sudah nggak marah lagi sama Rara..."<br /> Ya Tuhan, ampuni aku orang berdosa ini. Dan terima kasih Tuhan, Engkau telah mengirim malaikat kecil ini untuk mewarnai hidupku. bila dikilas balik, di balik kenakalannya Rara tetaplah seorang anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan-urusanku sehingga sering mengabaikan dia. Rara bidadariku, mutiara hatiku.... Doamu yang tulus sungguh menyentuh hati mama, nak. Mama berjanji akan menjaga dan membimbingmu lebih baik lagi. lebih sabar, lebih care karena Rara matahari yang menyinari hidup mama. Tanpa Rara hidup mama hampa. Tanpa Rara mama kurang motivasi untuk menjadi orang yang lebih bersemangat meraih cita-cita. Terima kasih Tuhan telah menyadarkanku. Rumput tetangga mungkin lebih hijau, tapi aku punya tanaman sendiri yang menunggu jamahan tanganku untukbertumbuh..... Bukankah setiap pribadi diciptakan unik, ada kelebihan dan ada kekurangan. Lalu mengapa aku harus berkeluh kesah menghadapi perangai anakku sendiri? Ayo semangat bagi ibu-ibu yang frustasi dengan tingkah anaknya. Kasih ibu sepanjang jalan.... Mari kita tuntun anak-anak kita mencapai harapan dan impian-impian mereka....<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-motivasi/terima-kasih-tuhan.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-14659930146976170042009-07-28T01:13:00.000-07:002009-07-28T01:16:57.961-07:00" Buka Aja Jilbabnya "Doni dan Kara adalah sepasang kekasih yg saling mencintai. Kara muslimah yg cukup baik. Sedangkan Doni putra pak haji, tapi liberal.Suatu hari, wkt makan siang di kantin blok M, Kara mengeluh,"Duh.. kok panas bgt,ya..?!" Si Doni lalu berkata, "kalo panas, ya buka aja jilbabnya. gampang,kan.?"Kara tersentak,"kok kamu bilang gitu,sih.?"Doni menjawab,"Rasional,kan? kalo panas,ya buka aja jilbabnya..!""kenapa.? takut dosa,buka aurat..?" Imbuhnya.Kara menangis, lalu berkata,"omonganmu kelewatan,Don. kamu kan udah tau itu dosa..!"Doni tersenyum sinis, dia bilang:"Kamu pikir kita pacaran gak dosa..?! kalo kamu peluk aku di atas motor,itu bukan dosa? ha..?""emang kitab suci kamu itu nyuruh orang pacaran? emang nabi kamu nyontohin kamu pacaran?""Ayo jawab.. kenapa diam? dasar MUNAFIK.!"Tangis Kara semakin menjadi. dia bangkit dari tempat duduknya,lalu berkata singkat,"Kita putus..!"Doni berkata lirih,"Egois..!""maksud lo apa?" tanya Kara.Doni menjawab, "tanya diri kamu sendiri. tanya juga guru kamu."<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-romantis/buka-aja-jilbabnya.html">Cerpen.net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-33401903171805640922009-07-28T01:11:00.000-07:002009-07-28T01:12:56.205-07:00Oops Ternyata SalahDi suatu Sekolah terdapat seorang Siswi lumayan aktif,dia tidak secantik teman-temannya,tapi dia itu cukup menyenangkan jika di jadikan teman, sebut saja namanya Laura. Laura adalah anak tunggal dia sangat di sayang kedua orang tuanya,apapun yang dia minta pasti orang tuanya kasih. Laura tak pernah keluar rumah ia keluar hanya untuk sekolah, itu juga selalu di awasi orang tuanya,Ibu Laura bagaikan bodigard yang selalu ngawal kemana-mana.Suatu hari Laura termenung mengingat-ngingat kejadian kemarin sore yang bikin bingung dia. ” Suatu sore yang indah,di hiruk pikuk orang bekerja di rumah Laura karena sore itu ada acara syukuran tiba-tiba HP Laura berbunyi di lihat nama ”Andin” Laura bingung karena Laura tahu Kakak Andin itu seorang pemuda yang kurang baik yang di takuti Laura, pas di angkat ternyata suara laki-laki Laura tersentak kaget karena dia seperti mengenal suaranya dan memangilnya Adik. Laura takut kalau ngomong ma orang lain, dia kasih saja HP itu ke Papa nya tapi telepon di tutup. Selang beberapa jam No yang tadi itu menelepon lagi Laura angkat dan bilang siapa ini orang itu bilang Randy tapi memakai No teman nya,Laura kaget sebab Randy adalah teman dan sahabat Laura yang sudah di anggap seperti Kakak Laura sendiri. Laura penasaran terus Tanya jabatan dan No HP. Tapi dia menjawab dengan benar, Laura tak percaya,Laura kapok sebab dulu ada yang ngaku nama Randy ternyata teman sekelas Laura,yang jailin Laura. Tiba-tiba ayah Laura datang dan nyangka yang nelpon itu Kakak Andin ayah Laura merebut HP itu dan dari telpon itu memanggil-manggil Adik pada Laura. Telepon di tutup. Setelah terjadi pembicaraan anatara Ayah,Ibu Laura akhirnya Laura sadar bahwa yang nelpon itu bukan Kakak Andin melainkan Sahabat Laura sendiri yaitu Randy yang Baik,Ganteng yang super aktif di sekolah serta penyanyang. Laura merasa berdosa telah salah sangka Laura pun tidak ngerti cafa yang ngasih nama pada HP itu?. Laura minta Ma`af pada sahabatnya itu Mamah Laura godain ”Kasihan dech salah sangka” Laura kesel karena pingin ngobrol sama temannya, ech malah gax jadi,gara-gara SALAH SANGKA. Ayah Laura sebenarnya baik dan boleh berteman sama Randy sampai-sampai waktu Randy MC (miscall),Laura dach tidur Ayah Laura zmz ngasich tahu Randy low Laura dah tidur.””HOYA…!!! Tiba-tiba teman-teman Laura membuyarkan lamunan Laura. Laura kaget terserentak…. Kejadian itu menyadarkan Laura dan Laura janji akan lebih hati-hati dalam menghadapi segala hal. ***<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-remaja/oops-ternyata-salah.html">Cerpen.Net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2926770079133181775.post-47880058405846610422009-07-28T01:06:00.001-07:002009-07-28T01:11:08.001-07:00Babi Ngepet vs Flu Babinyala lilin magis tak lagi menghiasi rumah udin. telah beberapa hari ini udin tidak lagiberkeliling sebagai babi ngepet. hal ini dikarenakan larangan WNF, world ngepet federation, kepada seluruh pemegang izin babi ngepet untuk beroperasi hingga waktu yang belum ditentukan.<br /><br />memang akhir-akhirini virus H1N1 atau yang lebih dikenal dengan virus flu babi, telah menyebar ke seluruh dunia tanpa mampu dikendalikan. termasuk telah merambah dunia babi ngepet, hingga menurunkan omzet para babi ngepet.<br /><br />"gimana kang, kapan bisa keliling lagi ?" tanya sumi, istri udin. semenjak suaminya tidak beroperasi, sumi terus menguras tabungan untuk biaya hidup sehari-hari.<br /><br />udin tak mampu menjawab keresahan sumi. sebenarnya ia ingin sekali melanggar larangan WNF, namun kematian temannya yang juga babi ngepet menyurutkan niatnya.<br /><br />* * *<br /><br />udin duduk sendirian di beranda rumahnya. pagi tadi ia menerima kabar bahwa ayahnya masuk rumah sakit karena kutilnya kambuh. dan membutuhkan biaya yang cukup banyak sebagai biaya operasi.<br /><br />udin sangat bingung. mengapa di saat seperti ini kutil ayahnya harus kambuh ? di saat flu babi merajalela.<br /><br />"sabar kang. pasti ada jalannya" sumi coba menenangkan sang suami. namun tak berpengaruh sedikitpun. kebingungan yang semakin membara membakar rasa takut udin sedikit demi sedikit<br /><br />* * *<br /><br />"tak ada cara lain ! demi si abah" kata udin pada sumi saat dengan nekatnya ia akan pergi untuk berkeliling sebagai babi ngepet. tangisan memelas sumi tak ia gubris. baginya hanya ada dua pilihan, ia terkena flu babi atau ayahnya mati.<br /><br />malam itu tak satu pun bintang yang tampak. rembulan pun enggan bersinar seraya tak merestui udin. namun tekad udin telah terpatri di hatinya. tak ada apapun atau siapapun yang dapat menghalanginya.<br /><br />"wer kewer kewer. pak jus, pak pret" udin merapal mantra, kemudian ia menjelma menjadi babi ngepet.<br /><br />rumah demi rumah ia sambangi. untuk mendapatkan hasil optimal tak satupun rumah ia lewati. padahal dahulu ia adalah babi ngepet pemilih. ia hanya menguras harta orang kaya yang jahat dan kikir. namun kali ini ia harus mengorbankan hati nuraninya demi kesembuhan sang ayah.<br /><br />telah beberapa jam ia berkeliling sebagai babi ngepet. ia merasa uang yang telah ia dapatkan cukup besar. cukup bagi pengobatan ayahnya serta cukup bagi penghidupan ia dan keluarganya.<br /><br />di saat ia akan mengakhiri petualangannya. tiba-tiba tubuhnya tak dapat digerakan dan serasa ada bara api dalam tubuhnya yang membakar setiap jengkal badannya. ia ingin berteriak, namun tenggorokannya tak mampu mengejawantahkan keinginan pikirannya.<br /><br />* * *<br /><br />uang dan perhiasan muncul secara tiba-tiba di depan matanya. senyum tak henti terpancar dari bibir mungil sumi. kini ia takkan kesulitan dalam hal keuangan lagi.<br /><br />namun saat fajar menjelang. nyala api lilin berubah menjadi biru dan beberapa saat kemudian api biru tersebut membesar dan dengan sangat cepat melelehkan lilin sedikit demi sedikit.<br /><br />kepanikan mendera sumi. ia coba memadamkan api itu. namun bagai disembur minyak, api itu malah menjadi semakin besar hingga padam setelah menelan lilin tersebut.<br /><br />sumi mulai terisak memikirkan nasib suaminya.<br /><br />* * *<br /><br />keesokan harinya, keresahan masih belum beranjak dari kalbu sumi. ia terus menanti kedatangan sang suami. separuh hasil ngepet telah ia berikan pada sang mertua.<br /><br />"jeng sumi. jeng sumi" seorang wanita paruh baya dengan setengah berlari menyongsong sumi. dari raut wajahnya terlihat bahwa sebuah kabar buruk akan disampaikannya pada sumi.<br /><br />dengan terbata-bata ia berkata. "su. suami jeng sumi diremukan tergeletak tak bernyawa di desa sebelah" demi mendengar kabar itu, jantung sumi serasa berhenti berdenyut dan bumi berhenti berputar. tatapan matanya entah ditujukan ke mana.<br /><br />Sumber : <a href="http://cerpen.net/cerpen-horor/babi-ngepet-vs-flu-babi.html">Cerpen.Net</a>Sanice Alfieta's Bloghttp://www.blogger.com/profile/09883108911414783484noreply@blogger.com2